TAHUN 2019 bisa disebut tahun politik. Pada tahun itulah pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilangsungkan serentak. Bukan tanpa kaitan, dalam Pemilu 2019 petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai presiden tentu ingin memaksimalkan kinerja pemerintahannya.
Hal itu dilakukan untuk mencapai rencana kerja pemerintah (RKP) yang telah ditetapkan guna meraih kepercayaan publik. Namun, untuk menjalankan rencana kerja, pastinya dibutuhkan biaya yang besar dan hal ini tak terlepas dari pajak sebagai penyumbang pendapatan negara yang paling besar.
Kebijakan dalam RKP 2019 menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia, pengurangan kesenjangan, penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, energi, dan sumber daya air, serta stabilitas keamanan dan pemilu.
Atas dasar RKP tersebut, pemerintah menargetkan penerimaan negara Rp2,142,5 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1,780,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp361,1 triliun, dan penerimaan hibah Rp435,3 miliar.
Target penerimaan perpajakan pada postur RAPBN 2019 sebesar Rp1,781 triliun terdiri atas Rp1,572,3 triliun penerimaan pajak dan Rp208,7 triliun penerimaan bea dan cukai. Penerimaan tersebut meningkat 10,1% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2018.
Target penerimaan itu sangat jelas memperlihatkan optimisme pemerintah. Melihat tren penerimaan yang meningkat, pencapaian target tersebut tentu masih dimungkinkan. Namun, jika melihat realisasi pajak yang tidak pernah mencapai target sejak 2014, risiko shortfall bisa kembali jadi masalah.
Di bidang perpajakan, pemerintah memiliki beberapa kebijakan teknis, antara lain penguatan fungsi pelayanan gunamendorong kepatuhan sukarela; peningkatan pengawasan melalui implementasi Automatic Exchange of Information dan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan;
Kemudian ekstensifikasi dan peningkatan pengawasan sebagai tindak lanjutprogram tax amnesty; peningkatan efektivitas fungsi ekstensifikasi melalui pendekatan end to end seperti di sektor informal melalui pendekatan bussinessdevelopment service;
Lalu pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) secara berkeadilan; dan melanjutkan reformasi perpajakan secara komprehensif baik menyangkutsumberdaya manusia, peraturan perpajakan, teknologi informasi, maupun penyempurnaan proses bisnis.
Salah satu yang menarik adalah Automatic Exchange of Information. Pertukaran data informasi ini memungkinkan Ditjen Pajakmelihat beberapa data, antara lain identitas pemegang rekening; nomor rekening; identitas lembaga keuangan; nilai rekening dan yang terhubung dengan rekening keuangan.
Tentu data yang diperoleh bisa digunakan pemerintah untuk melakukan pengawasan, meminimalisir pengemplangan pajak, dan menggali potensi perpajakan. Datatersebut juga mampu mendeteksi tambahan harta yang diungkapkan pascatax amnesty dan bisa berpotensi menambah Pph 25 dan 29.
Pemerintah juga memberikan insentif pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Dengan PP tersebut, tarif 1% untuk UMKMdipangkas menjadi 0,5%. PP tersebut memang belum sepenuhnya menjamin meningkatnya penerimaan pajak UMKM. Meski begitu, dengan insentif tersebut ada harapan makin banyak UMKM yang mau membayarkan pajaknya secara sukarela.
Berbagai Tantangan
NAMUN, berbagai fasilitas dan insentif itu tentu belum menjamin tercapainya target penerimaan. Ada berbagai tantangan yang memaksa pemerintah berinisiatif menggali potensi perpajakanya. Dengan tantangan itulah, pemerintah perlu memperluas kebijakan pajak dengan pendekatan yang objektif.
Misalnya penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan bakar minyak. Pajak untuk kendaraan pribadi ini bisa ditingkatkan sesuai dengan banyaknya bahan bakar minyak yang digunakan, tanpa ada pengenaan pajak pada satu liter pertama.
Kemudian kenaikan pajak impor barang konsumsi dengan selektif, pemajakan penggunaan akun media sosial dan akun fintech melalui kerja sama dengan penyedia, dan mewajibkan pemungutan pajak iklan melalui penyedia sepertigoogle, facebook, youtube, dan instagram.
Contoh pajak itu tentu tidak bertujuan menghambat ekonomi, tetapi untuk menambah penerimaan pajak sekaligus sebagai alat kontrol. Misalnya, dengan pajak bahan bakar minyak yang disesuaikan, pengendara bisa memilih menaiki transportasi umum dan dapat mengurangi kemacetan.
Lalu dengan kenaikan pajak impor barang konsumsi, tentu hal ini akan memicu berkurangnya impor barang konsumsi yang sebetulnya bisa didapat di dalam negeri, dan sekaligus melindungi pelaku usaha di dalam negeri.
Selain itu, banyaknya iklan dari penyedia layanan iklan digital seperti iklan produk ilegal, endorsement, e-commerce serta aplikasi fintech yang belum banyak bisa dipajaki karena ketidakpastian hukum bisa dilimpahkan ke pengguna, serta kejahatan di media sosial seperti hoax dan akun palsu bisa berkurang.
Kesimpulannya, untuk mencapai target penerimaan jangka pendek yang berkelanjutan dan tidak menghambat perekonomian, diperlukan kebijakan pajak dengan memajaki sektor yang potensial dan memberikan intensif pajak dengan pendekatan objektif.
Dengan begitu, wajib pajak tidak serta-merta menjadikan pajak sebagai beban,melainkan sebagai biaya untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Dengan cara itu pula, pajak sekaligus menjadi pengendali dari perilaku negatif ekonomi dan sosial.
Kebijakan itulah yang kelak akanmenjadikan sistem pajak sebagai sebuah sistem yang berkeadilan, yang bermanfaat untuk mengurangi kesenjangan pendapatan, sekaligus memaksa perbaikan moral para pelaku ekonomi dan merangsang perbaikan perekonomian nasional.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.