KETIMPANGAN ekonomi telah menjadi persoalan umum bagi banyak negara. Selain karena tidak meratanya akses terhadap modal dan pendidikan, salah satu faktor utama penyebab ketimpangan perekonomian ialah ketimpangan kepemilikan kekayaan (World Bank, 2018).
Hal itu terjadi karena akumulasi kekayaan yang dimiliki oleh kelompok sangat kaya pada umumnya disalurkan dalam satu garis keturunannya saja, sehingga kepemilikan harta kekayaan pun cenderung terkonsentrasi pada kelas atas.
Untuk itu, pemerintah di banyak negara mencoba melakukan ‘intervensi’ untuk mengatasi persoalan ketimpangan ekonomi ini, salah satunya melalui instrumen pajak atas kekayaan (wealth tax). Meskipun pajak atas kekayaan merupakan instrumen fiskal yang sudah cukup lama dikenal, namun pada kenyataannya jenis pajak ini seringkali luput dari perhatian (Bird, 1996).
Lantas apa yang dimaksud dengan pajak atas kekayaan?
Secara umum, pajak atas kekayaan merupakan pajak yang dikenakan atas kepemilikan terhadap suatu kekayaan. Adapun, menurut IMF (2013), pendekatan dalam mementukan objek pajak kekayaan terbagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan nilai harta tersebut (asset base), transfer kekayaan (asset transfer) dan kenaikan nilai suatu asset (capital gains).
Pertama, pemajakan atas kekayaan melalui asset base merupakan metode perumusan objek pajak kekayaan berbasis pada kekayaan aktual yang dimiliki oleh seseorang. Contoh dari jenis pajak kekayaan ini di antaranya ialah pajak kekayaan umum (general wealth tax) dan pajak atas kekayaan bersih (net-wealth). Pemajakan atas kekayaan jenis ini pada dikenakan pada nilai kekayaan bersih yang dimiliki seseorang dikurangi dengan liabilitasnya dan umumnya dikenakan secara periodik (Rudnick &Gordon, 1996).
Jenis pemajakan harta kekayaan berbasis nilai aset aktual ini dianggap jenis pemajakan yang paling adil untuk mengatasi meningkatkan penerimaan negara melalui pengenaan pajak progresif pada kelompok masyarakat kaya. Meskipun demikian, pemajakan kekayaan yang dikenakan secara berkala ini menimbulkan kerumitan yang tidak sedikit.
Kerumitan terbesar dari pajak jenis ini berkaitan dengan penentuan nilai harta yang harus dilakukan pula secara berkala. Banyak negara yang kemudian akhirnya menghapuskan jenis pajak ini karena tujuan penerimaan negara serta dampak positif yang diharapkan tidak sepadan dengan kerumitannya (Bräuninger, 2012).
Kedua, dalam pemajakan kekayaan berbasis pengalihan harta, basis pajaknya dirumuskan berdasarkan proses perpindahan/transfer, yaitu berdasarkan pemberi harta maupun pihak penerima harta. Secara administrasi, berbagai jenis pajak atas transfer kekayaan ini dianggap lebih mudah untuk diimplementasikan dibandingkan jenis pajak kekayaan lainnya walaupun terdapat justifikasi moral dan sosial yang seringkali masih menjadi perdebatan.
Jenis-jenis pemajakan atas kekayaan berdasarkan asset transfer ini di antaranya pajak warisan (inheritance tax), pajak hibah (gift tax) dan pajak atas transfer modal. Pada awalnya, penerapan pajak warisan dilandaskan atas dasar filosofi sosial bahwa warisan kelompok masyarakat kaya menjadi salah satu penyebab ketidakadilan ekonomi. Kemudian, perpindahan kepemilikan kekayaan (wealth transfer) tersebut dirasa perlu untuk dikenakan pajak.
Dalam perkembangannya, pengenaan pajak warisan juga didorong oleh pandangan bahwa warisan merupakan ‘penghasilan’ atau penambah kekayaan bagi individu yang menerima sehingga layak untuk dikenakan pajak. Atas pandangan ini, tidak mengherankan tren pembebanan pajak warisan cenderung bergeser menjadi dibebankan pada pihak penerima warisan.
Kajian mengenai pajak warisan ini juga diulas dalam Working Paper DDTC yang berjudul ‘Prospek Pajak Warisan di Indonesia’. Kajian tersebut menyajikan analisis mendalam mengenai prospek penerapan pajak warisan di Indonesia. Pembahasan mengenai pajak warisan diulas secara lengkap mulai dari konsep, pro-kontra, desain, tren global, studi komparasi, dan analisis kesesuaiannya dengan konteks Indonesia.
Dalam working paper ini, penulis berkesimpulan penerapan pajak warisan di Indonesia dapat dijustifikasi terutama dalam mengatasi ketimpangan kekayaan, belum optimalnya pemungutan PPh OP, lanskap pasca-amnesti pajak, dan sebagainya. Namun, implementasinya memerlukan desain kebijakan yang tepat.
Ketiga, pajak atas kekayaan lainnya ialah jenis pajak yang dikenakan berdasarkan kenaikan nilai suatu aset. Jenis pajak ini umumnya dibebankan atas perubahan atau kenaikan nilai suatu aset keuangan. Contoh yang paling umum diterapkan untuk diterapkan atas pemajakan kekayaan jenis ini ialah capital gain tax. Secara istilah, capital gains tax sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas keuntungan (gains) atas pengalihan aset, seperti saham dan properti.
Meskipun sudah banyak negara yang menerapkan capital gains tax, implementasi atas kebijakan ini sendiri masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Di satu sisi, jenis pajak ini menjadi pertimbangan banyak negara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial. Di sisi lain, terdapat beberapa isu strategis dalam penerapannya, terutama berkaitan pada sisi tarif dan pengelompokkan aset yang dikenakan pajak jenis ini.
Berkaitan dengan aspek tarif untuk capital gains tax, terdapat isu pembedaan tarif dengan penghasilan lain pada umumnya. Apabila tarif pajak ini lebih rendah, wajib pajak kemudian dapat terdorong untuk mengalihkan penghasilannya ke dalam bentuk aset. Selain itu, penetapan tarif ini umumnya bersifat politis dan sangat bergantung pada pemangku kekuasaan (Littlewood & Elliffe, 2017).
Taksonomi Pajak atas Kekayaan Menurut OECD
Pada konteks global yang berlaku saat ini, OECD mengklasifikan pajak atas kekayaan sebagai bagian dari pajak atas kepemilikan harta (property tax) dalam heading 4000 yang tertuang dalam laporan Revenue Statistics 1965-2017.
OECD mendefinisikan pajak atas kepemilikan harta sebagai pajak berulang (recurrent tax) dan tidak berulang (non-recurrent tax) atas penggunaan, kepemilikan, atau transfer kekayaan. Pajak berulang misalnya dikenakan setiap periode tertentu, sedangkan pajak tidak berulang berarti pajak tersebut hanya dikenakan satu kali.
Secara garis besar, terdapat 6 sub-heading atau jenis pajak yang masuk klasifikasi pajak atas kepemilikan harta, yaitu pajak berulang pajak berulang untuk kepemilikan harta tidak bergerak (4100); pajak berulang atas kekayaan bersih (4200); estate tax, pajak warisan dan pajak hibah (4300); pajak atas transaksi keuangan dan modal dari penggunaan harta (4400), pajak tidak berulang lainnya untuk kepemilikan harta (4500), dan pajak berulang lainnya untuk kepemilikan harta (4600).
Selain itu, ada pula jenis-jenis pajak atas kepemilikan harta lain yang tidak termasuk dalam heading 4000 dari klasifikasi OECD tersebut, namun masuk dalam heading lain, seperti pajak atas capital gains yang termasuk dalam heading 1000 (taxes on income, profits and capital gains). Dengan kata lain, pemajakan capital gains dianggap sebagai pajak penghasilan, bukan bagiandari pajak atas kekayaan.
Pajak Berulang untuk Harta Tidak Bergerak
Sub-heading 4100 ini mencakup pajak yang dipungut secara teratur sehubungan dengan penggunaan atau kepemilikan hartatidak bergerak. Pajak-pajak ini umumnya dikenakan pada tanah dan bangunan dan dalam bentuk persentase dari nilai aset. Nilai aset tersebut dapat berdasarkan pendapatan sewa, harga jual, kapitalisasi, atau berdasarkan karakteristik aset lainnya, misalnya ukuran atau lokasi aset.
Pajak ini dapat dikenakan pada pemilik, penyewa, atau keduanya. Dalam pengenaan pajak berulang atas harta tidak bergerak ini, utang tidak diperhitungkan sebagai pengurang nilai aset dan inilah yang membedakannya dengan pajak berulang atas kekayaan bersih (net wealth tax).
Pajak Berulang atas Kekayaan Bersih
Adapun sub-heading 4200 ini mencakup pajak yang dipungut secara teratur (dalam kebanyakan kasus setiap tahun) atas kekayaan bersih, yaitu pajak atas berbagai properti bergerak dan tidak bergerak, yang bersih dari utang. Jenis pajak ini dibagi menjadi pajak yang dibayarkan oleh individu dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan perusahaan.
Pajak Warisan (Estate & Inheritance Tax) dan Pajak Hadiah
OECD mengklasifikan pajak warisan sebagai bagian dari pajak atas kepemilikan harta (property tax) dengan kode sub-headingspesifik 4310 bersama dengan estate tax, serta pajak hadiah dalam sub-heading 4320. Keduanya merupakan jenis pemajakan atas kepemilikan harta dengan perbedaan yang terletak pada sistem pengenaan pajaknya dan pihak yang melakukan pembayaran apabila pemilik aset meninggal dunia. Berdasarkan konsep umum, pihak yang terutang dalam kasus pajak warisan adalah penerima warisan sebagai penerima aset atau harta setelah warisan tersebut dibagikan.
Berbeda dengan estate tax di mana pihak penerima transfer kekayaan dapat berupa lembaga, pajak warisan hanya dikenakan pada tingkat individu, yaitu penerima warisan (Institute on Taxation and Economic Policy, 2012). Lebih lanjut, pajak warisan juga mempertimbangkan besaran terutang pajaknya berdasarkan keterkaitan antara pihak pemberi warisan dengan penerima warisan. Pertimbangan tersebut di antaranya mencakup derajat hubungan kekeluargaan untuk menentukan pemberian keringanan pajak atas warisan (Nakayama, 2015).
Di sisi lain, untuk kasus estate tax, kalkulasi pajaknya didasarkan pada nilai bersih dari aset estate yang dimiliki oleh orang yang meninggal dan biasanya terhitung sejak tanggal meninggalnya setelah dikurangi pengecualian atau kredit pajak. Jenis pajak ini sendiri dapat dikenakan kepada individu maupun lembaga sebelum aset tersebut dibagikan menjadi warisan (Walczak, 20170).
Apabila belum dibayarkan, warisan yang terkena estate tax tersebut kemudian tidak dapat dibagikan kepada penerima warisan atau pihak lain yang berhak mendapatkan penghasilan tersebut (beneficiary). Secara administrasi, sistem estate tax ini tergolong lebih mudah dibandingkan pajak atas warisan.
Meskipun demikian, kedua terminologi ini – inheritance tax dan estate tax – seringkali tidak memiliki batasan yang jelas dan seringkali berbeda konsep dan implementasinya di berbagai negara. Sebagai contoh, di negara Inggris, pajak warisan (inheritance tax/IHT) dikenakan atas aset yang akan diwariskan di mana pemajakan berdasarkan situasi ini disebut sebagai estate tax untuk penerapan yang serupa di negara Amerika Serikat.
Pajak atas Transaksi Keuangan dan Modal
Sub-heading 4400 ini di antaranya mencakup pajak untuk penerbitan, transfer, pembelian dan penjualan surat berharga, pajak atas cek, dan pajak yang dikenakan pada transaksi hukum tertentu seperti validasi kontrak dan penjualan properti tidak bergerak.
Pajak Tidak Berulang Lainnya untuk Kepemilikan Harta
Dalam sub-heading 4500 ini mencakup semua pajak yang dikenakan satu kali terhadap kepemilikan harta yang terbagi dalam pajak atas kekayaan bersih dan pajak tidak berulang lainnya untuk kepemilikan harta. Pajak atas kekayaan bersih akan mencakup pajak yang dipungut untuk memenuhi pengeluaran darurat pemerintah, atau untuk tujuan redistribusi. Misalnya, pajak ini dipungut karena ada izin yang diberikan pemerintah kepada satu pihak untuk mengembangkan atau menyediakan fasilitas lokal tambahan.
Pajak Berulang Lainnya untuk Kepemilikan Harta
Jenis pajak ini jarang diterapkan oleh negara-negara anggota OECD sendiri. Jenis pajak berulang lainnya untuk kepemilikan harta ini meliputi pajak atas barang-barang seperti ternak, perhiasan, jendela, lukisan dan barang-barang lainnya yang menjadi ‘tanda-tanda kekayaan’ seseorang.*