LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Pajak Kekayaan, Solidaritas Penanggulangan Pandemi

Redaksi DDTCNews
Selasa, 20 Oktober 2020 | 10.17 WIB
ddtc-loaderPajak Kekayaan, Solidaritas Penanggulangan Pandemi

Esah,

Pasar Rebo, Jakarta Timur

MELUASNYA penyebaran virus Covid-19 tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan di berbagai belahan dunia, tetapi juga resesi. Hal ini terjadi akibat kebijakan lockdown baik seluruhnya maupun sebagian. Kebijakan itu menyebabkan penurunan kegiatan produksi dan konsumsi masyarakat.

Bank Dunia memproyeksikan perekonomian global 2020 akan terkontraksi 5,2%. Sementara, International Monetary Fund memproyeksikan minus 4,9%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 minus 5,3% dari kuartal sebelumnya 2,97%.

Dampak perlambatan ekonomi paling jelas terlihat dari meningkatnya tingkat pengangguran terbuka yang menurut Bappenas menyentuh 8,1%-9,2% dibandingkan dengan 2019 yang 5,28%. Sektor usaha di berbagai lini juga mengalami goncangan yang berujung kebangkrutan usaha.

Di tengah pandemi, pemerintah mengalami kesulitan menggenjot penerimaan. Apalagi pajak sebagai tulang punggung penerimaan juga menerima dampak perlambatan akibat berbagai relaksasi yang diberikan. Berbagai kebijakan pajak diusulkan untuk mengoptimalkan penerimaan.

Daniel Bunn dalam makalahnya Where Should the Money Come From? juga membahas isu serupa. Beberapa kebijakan pajak yang diusulkan antara lain wealth taxes, minimum taxes, excess profit taxes, consumption taxes, dan digital taxes.

Konsep Wealth Tax
WEALTH tax atau pajak atas kekayaan dikenakan pada kekayaan bersih individu atau nilai pasar dari total aset yang dimiliki dikurangi liabilitas. Secara sempit, wealth tax mirip dengan konsep pajak properti tetapi tanpa dikurangi liabilitas.

Pengertian serupa dikemukakan Saez dan Zucman (2019). Mereka mendefinisikan wealth tax sebagai pajak yang dipungut dari basis net wealth, yaitu aset finansial ditambah aset nonfinansial dikurangi utang, yang berada diatas ambang batas yang dikecualikan.

Wealth tax umumnya diklasifikasikan menjadi tiga (Brauninger, 2012). Pertama, pajak pengendalian atau kepemilikan aset. Contoh, pajak kekayaan bersih yang dikenakan rutin (Rudnick dan Gordon, 1996). Kedua, pajak penyerahan harta tanpa transaksi, seperti pajak warisan dan hibah.

Terakhir, pajak atas transaksi perpindahan kepemilikan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis. Basis pajak umumnya dihitung berdasarkan selisih antara harga penjualan dikurangi harga perolehan (capital gain).

Senator Amerika Serikat (AS) Elizabeth Warren pernah mengusulkan proposal penerapan wealth tax. Dalam proposal itu, 2% tarif pajak akan dikenakan bagi individu dengan kekayaan bersih lebih dari $50 juta. Sementara itu, pemilik kekayaan bersih lebih dari $1 miliar dikenakan tarif 6%.

Beberapa pakar pajak seperti Camille Landais, Saez dan Zucman juga merekomendasikan konsep serupa ke pemerintah di Uni Eropa. Sekitar 1% dari total masyarakat paling kaya di Eropa menguasai 20%-25% total kekayaan yang dimiliki di Perancis, Jerman, Spanyol, dan Skandinavia.

Implementasi kebijakan ini diusulkan dalam membantu pemerintah atas biaya penanganan Covid-19. Sebenarnya wealth tax bukanlah hal yang baru bagi beberapa negara di Uni Eropa. Hingga kini, ada 4 negara di Eropa yang menerapkan kebijakan tersebut, Spanyol, Norwegia, Swiss, dan Belgia.

Penerapan wealth tax juga diusulkan di Peru yang dinamakan solidarity tax. Peru mempertimbangkan penerimaan melalui pemajakan kekayaan secara temporer sehingga dapat membantu pengeluaran yang besar di tengah pandemi. Peru menargetkan US$85 juta dari solidarity tax.

Penerapan di Indonesia
KONSEP wealth tax sebetulnya tidak asing karena telah diterapkan dalam pajak atas warisan pada UU Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia. Penerapan wealth tax juga merupakan bentuk upaya keadilan atas ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.

The Economist (2016) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-7 The Crony-Capitalism Index. Hal ini disebabkan hanya segelintir kalangan yang menguasai 3,8% dari total produk domestik bruto. Adapun Credit Suisse menunjukkan 1% masyarakat terkaya menguasai 45,4% kekayaan nasional.

Penerapan wealth tax tentu memiliki tantangan tersendiri, salah satunya biaya administrasi yang tinggi sebagai upaya penegakan hukum atas kepatuhan pajak. Berbagai negara telah meninggalkan konsep wealth tax karena kerumitan dalam implementasi atas kebijakan tersebut.

Hal ini karena masyarakat sangat kaya dapat dengan mudah memindahkan modalnya ke luar negeri yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Karena itu, perlu diketahui potensi peningkatan pendapatan atas pajak yang diperoleh, apakah sebanding dengan biaya yang perlu dikeluarkan.

Dalam hal ini, konsep solidarity tax secara temporer seperti yang diusulkan di Peru layak diterapkan di Indonesia. Namun, usulan tersebut tetap membutuhkan dukungan masyarakat, terutama dari para politisi parlemen sekaligus orang superkaya sebagai sebagai subjek pajaknya kelak.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Haryo Adinugroho
baru saja
Artikelnya informatif dan menambah wawasan perpajakan. Terima kasih Mba