A. Yoga Sampurno,
NEGARA-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia, membutuhkan anggaran ekstra untuk menghadapi permasalahan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Pemerintah membutuhkan anggaran cukup besar untuk mendanai program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Bagaimanapun, 2021 merupakan tahun kedua Indonesia menghadapi pandemi Covd-19. Selain rencana pemenuhan anggaran melalui penerimaan, pemerintah juga tengah mengkaji beberapa kebijakan yang masuk dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pertama, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas beberapa barang/jasa yang sebelumnya dikecualikan dari objek pajak. Rencana kebijakan ini juga akan dilakukan bersamaan dengan kenaikan tarif PPN atas barang/jasa tertentu.
Kedua, penambahan lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 35% di atas tarif progresif yang sudah ada. Ketiga, pelaksanaan pengampunan pajak dengan skema pengenaan tarif tertentu atas pengungkapan aset yang belum dilaporkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) atau dalam tax amnesty sebelumnya.
Beberapa rencana itu sepertinya menunjukkan ada kesulitan yang ditemui pemerintah untuk memenuhi tingginya kebutuhan belanja dengan mekanisme rutin pengumpulan penerimaan. Tidak mengherankan jika ada kebutuhan beberapa langkah ekstra.
Secara konsep, di luar jenis pajak lain, mayoritas pajak yang dikenakan negara-negara di dunia adalah pajak atas konsumsi dan penghasilan. Pajak konsumsi dikenakan ketika terjadi transaksi jual/beli atas barang/jasa.
Sementara itu, pajak atas penghasilan merupakan pajak yang dikenakan ketika suatu entitas menerima/memperoleh penghasilan. Keduanya dikenakan hanya sekali, yaitu ketika transaksi atau pemberian penghasilan terjadi.
Terlepas dari detil ketentuan pengenaannya, di Indonesia, jenis pajak konsumsi adalah PPN dan jenis pajak atas penghasilan adalah PPh. Salah satu kebijakan yang belum diambil pemerintah adalah mengenakan pajak atas kekayaan yang dimiliki individual. Jenis pajak ini sering disebut dengan pajak kekayaan (wealth tax).
SEPERTI diketahui, ketimpangan di Indonesia menjadi permasalahan tersendiri. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rasio gini Indonesia pada September 2020 mengalami peningkatan dari 0,380 menjadi 0,385. Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, rasio tersebut relatif tinggi.
Dengan tingginya rasio tersebut, kekayaan di Indonesia hanya terkonsentrasi pada sejumlah kecil kelompok individu. Berdasarkan pada data The Wealth Report 2021 yang dirilis Knight Frank, jumlah ultra high worth net individual di Indonesia dengan harta di atas Rp430 miliar sebanyak 1.125 orang.
Penerapan pajak kekayaan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh sumber baru penerimaan negara. Kebijakan ini secara tidak langsung berperan dalam upaya pengurangan ketimpangan pendapatan antarpenduduk.
Sebenarnya, Indonesia juga memiliki jenis pajak atas kekayaan berupa pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan setiap tahun atas kepemilikan harta berupa tanah dan/atau bangunan. Namun, saat ini, penerimaan pajak dari PBB relatif belum optimal. Hal ini dikarenakan objeknya terbatas pada tanah dan/atau bangunan serta tarifnya rendah.
Konsep pajak kekayaan sendiri telah diterapkan pada beberapa negara, antara lain Kolombia, Prancis, Norwegia, Spanyol, dan Swiss. Walaupun ketentuan antarnegara berbeda, ada karakteristik dari pajak kekayaan yang sama pada negara-negara tersebut.
Pertama, tidak seperti pajak penghasilan atau pajak konsumsi yang dikenakan sekali saja, pajak kekayaan dikenakan setiap tahunnya. Kedua, terdapat threshold jumlah harta kekayaaan yang menjadi objek pajak. Artinya, jenis pajak ini hanya dikenakan pada individu yang memiliki kekayaan luar biasa besar dibandingkan dengan kekayaan rata-rata penduduk.
Penerapan pajak kekayaan di Indonesia akan sangat membantu penerimaan negara. Dengan sifat dari jenis pajak tersebut yang dikenakan setiap tahun, kepastian sumber penerimaan pajak juga terjamin. Hal tersebut tentu berbeda dengan program tax amnesty pada 2016-2017.
Pada saat pelaksanaan tax amnesty, penerimaan negara terbantu. Namun, setelah program tersebut berakhir, tidak ada lagi penambahan sumber penerimaan baru. Harapan pengungkapan harta dalam program tersebut dapat menjadi basis data perpajakan baru, yang dapat memberikan penerimaan pajak pada kemudian hari, sepertinya belum dapat dilaksanakan dengan optimal.
Penetapan jenis pajak baru tentu dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, penetapan ambang batas jumlah harta kekayaan yang dikenakan pajak kekayaan akan memberikan kepastian kepada masyarakat.
Pajak kekayaan hanya dikenakan terhadap high net worth individual yang memiliki kondisi ekonomi sangat mampu untuk berkontribusi lebih bagi penerimaan negara. Efek dari penerapan pajak kekayaan tersebut secara tidak langsung akan berdampak pada pemerataan kekayaan antarpenduduk.
Pengenaan pajak atas kekayaan di Indonesia dapat menghasilkan fresh money untuk pemenuhan kebutuhan pengeluaran negara yang cukup besar dalam program penanganan Covid-19 dan PEN.
Para HNWI diharapkan dapat berkontribusi lebih dengan kekayaan yang dimilikinya untuk membantu penerimaan negara. Selain itu, penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi diharapkan mampu menggerakkan kembali kegiatan usaha atau bisnis para HNWI.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.