LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Tahun 2019, Antara Strategi Politik dan Penerimaan Pajak

Redaksi DDTCNews | Kamis, 10 Januari 2019 | 17:01 WIB
Tahun 2019, Antara Strategi Politik dan Penerimaan Pajak
Arie Aviana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang

INDONESIA sebentar lagi akan menghelat pesta demokrasi. Pesta bertajuk pemilihan umum 2019 akan menjadi event pergantian tongkat estafet kepemimpinan negara. Namun, euroforia pesta demokrasi telah terasa jauh jauh hari pertanda Indonesia telah memasuki tahun politik.

Tahun 2019 nanti tidak hanya menjadikan politik sebagai tajuk utamanya, tetapi juga soal penerimaan pajak. Soal ini selalu menjadi perbincangan setiap tahun mengingat begitu besar kontribusi pajak bagi penerimaan APBN.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan menargetkan penerimaan pajak tahun 2019 sebesar Rp1.781 triliun atau naik sebesar 15,4% dari tahun 2018. Jelas, target tinggi nan ambisius ini akan menjadi tantangan pemerintah pusat.

Persoalan klasik seperti rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak, rumitnya sistem administrasi perpajakan serta struktur penerimaan pajak yang masih didominasi dari pajak penghasilan badan (PPh) Badan yaitu sebesar 25% dari jumlah penerimaan pajak.

Pemerintah mesti cermat membuat kebijakan yang relevan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ada beberapa kebijakan yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah.

Pertama, ekstensifikasi dan intensifikasi wajib pajak. Berkaca pada 2014, di mana pemerintah sedang dihadapkan dengan situasi politik dan target penerimaan pajaknya, hasilnya cukup efektif dalam menambah jumlah wajib pajak untuk mendongkrak penerimaan pajak.

Selain itu, didorong juga dengan kebijakan Intensifikasi pajak. Hal ini merupakan tanggung jawab aparatur perpajakan untuk mencari potensi dan pengoptimalan sumber sumber penerimaan pajak yang ada.

Kedua, optimalisasi teknologi Automatic Exchange of Information (AEoI). Sistem ini mendukung adanya pertukaran informasi rekening wajib pajak antarnegara pada waktu secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan dari negara sumber penghasilan atau tempat menyimpan kekayaan, kepada negara residen wajib pajak.

Untuk menyokong sistem ini, pemerintah mengeluarkan UU No.9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang, serta aturan turunannya.

Aturan turunannya ini antara lain Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional, dan PMK Nomor 125/PMK.10/2015 tentang Perubahan atas PMK Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi.

Ketiga, yaitu tax reform. Sifat perpajakan yang dinamis mendorongnya untuk dilakukan perubahan pada waktunya. Saat ini pemerintah perlu mereformasi ketentuan umum perpajakannya mulai dari sistem administrasi perpajakan hingga sisi tarif bracket rate.

Sistem perpajakan yang ramah dan mudah akan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai contoh, pemerintah mengeluarkan gebrakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang memangkas tarif pajak penghasilan final bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari 1% menjadi 0,5%.

Melalui kebijakan ini diharapkan beban pajak yang ditanggung pelaku UMKM menjadi lebih kecil, sehingga pelaku UMKM memiliki kemampuan ekonomi yang lebih besar untuk mengembangkan usaha.

Selanjutnya, UMKM diharapkan makinberperan menggerakkan roda ekonomi untuk memperkuat ekonomi formal dan memperluas kesempatan memperoleh akses terhadap dukungan finansial, mengingat jumlah UMKM pada 2018 yang diprediksi 58,97 juta dan terus mengalami peningkatan.

Keempat, penciptakan iklim bisnis yang aman dan kondusif. Tak dapat dimungkiri bahwa tahun 2019 mendatang rawan akan gesekan antara kubu petahana dan oposisi. Gesekan ini berpotensi menimbulkan perpecahan sehingga menimbulkan situasi yang tidak kondusif.

Sangat penting bagi pemerintah untuk berkolaborasi dengan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan preventif maupun represif guna menegakan supremasi hukum demi memberikan rasa aman dan kondusif dalam penciptaan iklim investasi dan bisnis.

Penerimaan pajak selalu menjadi hal yang rumit bagi pemerintah. Seperti kata Albert Einstein, “The hardest thing in the world to understand is the income tax.” Tentunya pada 2019, persoalan semakin kompleks karena di saat yang bersamaan Indonesia akan menghelat pesta demokrasi.

Jadi, sudah bukan saatnya lagi pajak menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya. Diperlukan kesadaran mendalam bagi masyarakat akan pentingnya pajak sebagai material pembangun negeri. Karena pajak berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 04 Maret 2024 | 11:30 WIB LAPORAN KINERJA DJP 2023

DJP Belanjakan Rp34,34 Miliar untuk Bangun Coretax System pada 2023

Sabtu, 02 Maret 2024 | 13:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perubahan Struktur Penerimaan Perpajakan RI pada Awal Reformasi Pajak

BERITA PILIHAN