Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) didampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kanan) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 di Jakarta, Selasa (16/8/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kebutuhan anggaran subsidi energi setidaknya harus bertambah Rp198 triliun apabila harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan solar tidak ingin dinaikkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan anggaran subsidi energi dan kompensasi yang telah disiapkan pemerintah sejumlah Rp502 triliun tidak cukup untuk menahan harga di tengah harga minyak yang terus meningkat dan depresiasi nilai tukar rupiah.
"Rp502 triliun itu dihitung dengan asumsi volume 23 juta kiloliter, harga US$100, kurs Rp14.450. Namun, mulai Juli, Agustus dan seterusnya, harga itu di atas US$100, sudah di US$104,9 per barel dengan kurs Rp14.750,” katanya, dikutip pada Rabu (24/8/2022).
Kebutuhan BBM bersubsidi juga diperkirakan naik dari 23 juta kiloliter menjadi 29 juta kiloliter. Untuk itu, tanpa ada pembatasan konsumsi BBM bersubsidi maka anggaran subsidi energi dan kompensasi harus naik menjadi Rp698 triliun.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, terdapat 3 opsi kebijakan yang dipertimbangkan pemerintah, yaitu meningkatkan anggaran subsidi energi dan kompensasi menjadi Rp698 triliun, mengendalikan volume BBM bersubsidi, atau menaikkan harga BBM.
"Tiga-tiganya enggak enak, iya kan? Tiga-tiganya sama sekali enggak enak. APBN jelas sekali akan sangat berat karena subsidi BBM itu sudah naik 3 kali lipat, dari Rp158 triliun ke Rp502 triliun. Itu sudah naik 3 kali lipat, ternyata masih kurang lagi," ujar Sri Mulyani.
Dalam mengambil keputusan, Sri Mulyani menegaskan pemerintah akan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan kapasitas APBN. Pemerintah akan tetap melindungi daya beli masyarakat khususnya kelompok 40% terbawah.
"Kalau terjadi kenaikan kan berarti semua masyarakat kena. Namun, karena daya beli beda-beda, yang lebih rendah rasanya akan jauh lebih berat," tuturnya.
Menurut menteri keuangan, kapabilitas APBN juga perlu dipertimbangkan mengingat masih adanya beban kompensasi yang harus dibayar pada tahun depan. (rig)