Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (foto: Facebook Sri Mulyani)
JAKARTA, DDTCNews – Otoritas fiskal mengklaim rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 23% pada 2020 sudah mengakomodasi berbagai kepentingan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif itu memperhatian dua aspek yakni isu kesehatan dan keberlangsungan industri. Tidak adanya kenaikan tarif CHT sejak 2018, menurutnya, telah meningkatkan prevalansi perokok anak dan perempuan.
“Dari 2018 tidak ada perubahan tarif. Sekarang yang menonjol itu adalah peningkatan jumlah perokok muda dan perempuan dan juga porsi konsumsi masyarakat miskin terbesar kedua adalah untuk rokok,” katanya di Kompleks Parlemen, Senin (16/9/2019).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut dari sisi industri, pemerintah memberikan atensi untuk kelompok Sigaret Kretek Tangan (SKT). Segmen usaha ini masih melibatkan banyak tenaga kerja dan mayoritas menggunakan bahan baku lokal hasil petani tambakau dan cengkeh.
Oleh karena itu, kenaikan tarif kelompok SKT hanya dipatok sebesar 10%. Kenaikan tersebut lebih rendah dari kenaikan tarif pada kelompok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yang sebesar 23%.
“Jadi, sangat rendah [kenaikan tarif untuk SKT]. Sementara yang mesin itu yang naik relatif lebih tinggi," paparnya.
Selain itu, kenaikan tarif juga bagian dari upaya otoritas fiskal menekan peredaran rokok tanpa pita cukai atau rokok ilegal. Tarif yang naik sebesar 23%, menurut Sri Mulyani, merupakan titik optimum dalam upaya menekan peredaran rokok ilegal tetap di bawah 3%.
“Kita cari titik keseimbangan dari kebijakan tadi. Ada [masalah] kesehatan dan [tetap] memperhatikan dari sisi petani yang dibutuhkan produksi rokok pakai tangan. Selain itu, untuk terus perangi rokok ilegal maka diambil keputusan naik 23% yang sejak 2018 tidak naik,” imbuhnya. (kaw)