PAJAK KARBON

Soal Pajak Karbon, Pemerintah Bisa Belajar dari Singapura

Redaksi DDTCNews
Kamis, 09 September 2021 | 15.00 WIB
Soal Pajak Karbon, Pemerintah Bisa Belajar dari Singapura

Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization Paul Butarbutar dalam acara Bahtsul Masail Nasional Pajak dan Perdagangan Karbon PBNU, Kamis (9/9/2021).

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu melihat implementasi pajak karbon di negara tetangga sebelum memberlakukan kebijakan tersebut di dalam negeri.

Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization Paul Butarbutar mengatakan Singapura sudah lebih dahulu menerapkan pajak karbon. Menurutnya, pemerintah perlu mencermati panjangnya proses penerapan pajak karbon di Singapura.

"Negara paling dekat yang sudah menerapkan pajak karbon adalah Singapura. Hal yang menarik di Singapura, penyiapan aturan hingga implementasi itu cukup lama," katanya dalam acara Bahtsul Masail Nasional Pajak dan Perdagangan Karbon PBNU, Kamis (9/9/2021).

Paul menjelaskan inisiatif pajak karbon di Singapura muncul pada 2010. Namun, prosesnya bergulir selama 9 tahun hingga akhirnya miulai diimplementasikan secara penuh pada 2019.

Dia menyampaikan payung hukum penerapan pajak karbon di Singapura baru ditekan pada 2018 melalui Carbon Pricing Act No.23/2018. Melalui beleid itu, Pemerintah Singapura menetapkan pajak karbon sebesar 5 dolar Singapura per ton emisi CO2.

Desain kebijakan pajak karbon di Singapura juga dievaluasi secara berkala. Adapun pungutan pajak karbon di Singapura berlaku kepada seluruh sektor perekonomian yang mengeluarkan emisi CO2 lebih dari 25.000 ton per tahun.

"Penyusunan aturan butuh waktu karena mereka mempelajari sistem pajak karbon seperti apa yang cocok untuk Singapura. Kemudian yang paling penting, Pemerintah Singapura juga melakukan komunikasi kepada pihak yang terdampak," tutur Paul.

Untuk itu, Paul menilai Indonesia perlu mengikuti praktik umum internasional perihal kebijakan pajak karbon dan perdagangan emisi. Menurutnya, kedua kebijakan tersebut berjalan paralel, tetapi untuk emisi yang sama tidak dipungut pajak dan masuk skema perdagangan emisi.

"Pajak dan perdagangan emisi berjalan secara paralel dan yang paling penting adalah untuk emisi yang sudah di-cover skema perdagangan emisi tidak boleh kena pajak karbon. Jadi tidak ada double taxation," jelasnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
muhammad arul prasetio
baru saja
jika melihat potensi nilai yang bisa diperoleh, pajak karbon bisa menjadi alternatif potensial bagi Indonesia untuk memperoleh penerimaan. Mengingat pula saat ini Indonesia tengah bangkit dari masa-masa sulit karena pandemi. disamping itu, pajak yang berorentasi pada mitigasi perubahan iklim, menjadi instrumen penting untuk melindungi keberlangsungan lingkungan dan merupakan hak masyarakat mendatang.