Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah perlu berhati-hati jika ingin menjalankan konsolidasi fiskal dengan tumpuan pada kenaikan basis dan tarif pajak.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan konsolidasi fiskal berbasis kenaikan pajak memang berpotensi menurunkan rasio defisit anggaran. Namun, pemerintah perlu memastikan kebijakan yang ditempuh tidak berisiko menghambat pemulihan ekonomi.
“Pemilihan timing dan desain kebijakan perlu dipertimbangkan secara hati-hati,” ujarnya, Rabu (5/5/2021).
Selain melalui instrumen pajak, sambungnya, pemerintah idealnya juga menjamin keseimbangan momentum akselerasi fiskal dari sisi belanja dan pembiayaan. Hal ini dapat ditempuh dengan efisiensi belanja (spending better) serta pembiayaan yang inovatif, fleksibel tapi prudent, dan berkelanjutan.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan sejumlah strategi untuk mengamankan penerimaan perpajakan pada 2022. Salah satunya adalah perluasan basis perpajakan.
Upaya peningkatan penerimaan pajak mencerminkan arah kebijakan fiskal konsolidatif. Hal ini terlihat dari penurunan bertahap rasio defisit anggaran dan rasio utang. Pemerintah juga berkomitmen mengembalikan defisit anggaran menjadi di bawah 3% terhadap produk domestik bruto pada 2023.
Rencananya, perluasan basis perpajakan akan menyasar kepada upaya mengoptimalkan penerimaan dari sektor e-commerce, pengenaan cukai pada kantong plastik, serta menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Bawono mengatakan perluasan basis pajak merupakan kebijakan yang makin diperlukan, terutama dalam konteks pelemahan ekonomi. Hal tersebut juga makin relevan karena Indonesia masih memiliki masalah tingginya aktivitas shadow economy, besarnya tax gap, serta belum berimbangnya struktur penerimaan pajak.
Rencana perluasan basis pajak pada sektor e-commerce dan cukai kantong plastik juga sejalan dengan perkembangan lanskap perpajakan Internasional dalam mengantisipasi pergeseran aktivitas ekonomi yang berbasis teknologi informasi serta isu lingkungan.
Terkait dengan rencana kenaikan tarif PPN, menurutnya, perlu dipertimbangkan dan dikaji secara komprehensif. Berdasarkan tren internasional, kenaikan tarif PPN menjadi salah satu kebijakan yang dipilih beberapa negara, seperti Arab Saudi, Moldova, dan Nigeria, sebagai respons fiskal dalam konteks pemulihan ekonomi.
Namun, opsi tersebut perlu disandingkan dengan kondisi struktur perekonomian Indonesia. Hingga saat ini, konsumsi masih menjadi kontributor utama dalam PDB.
“Selain itu, kebijakan optimalisasi PPN juga sebenarnya memiliki opsi selain kenaikan tarif. Misalnya, melalui pengurangan exemption ataupun penyesuaian threshold PKP (pengusaha kena pajak),” ujarnya.
Selain itu, sambung Bawono, berbagai strategi peningkatan penerimaan perpajakan juga ditentukan reaksi sektor swasta sebagai stakeholder yang terkena dampak. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah dalam memengaruhi perilaku sektor swasta juga menjadi langkah yang krusial.
“Pada gilirannya, desain kebijakan yang kredibel didukung oleh kemudahan administrasi dapat membangun kepercayaan pelaku ekonomi untuk mendukung kebijakan yang ditetapkan,” imbuhnya. (kaw)