Ilustrasi. Pengunjung melihat produk busana muslim di salah satu kios di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Sabtu, (9/10/2021). ANTARA FOTO/ Reno Esnir/nz
JAKARTA, DDTCNews – Batasan peredaran usaha (omzet) yang ideal bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat menggunakan skema pajak pertambahan nilai (PPN) final paling tinggi Rp4,8 miliar per tahun.
Hal tersebut tergambar dari hasil survei yang dilakukan bersamaan dengan debat DDTCNews periode 21 Oktober—8 November 2021. Seperti diberitakan sebelumnya, dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 66,67% menyatakan setuju dengan penerapan PPN final untuk UMKM.
Dari 177 pengisi survei tersebut, sebanyak 39,5% menilai batasan omzet yang ideal bagi PKP yang bisa menerapkan PPN final maksimal Rp4,8 miliar. Sementara itu, 27,9% pengisi survei memilih maksimal Rp1,8 miliar. Kemudian, sebanyak 24% memilih batasan omzet kurang dari Rp500 juta.
Dwi Utomo, dalam komentarnya di kolom debat, menilai skema PPN final dengan tarif yang lebih ringkas cukup adil bagi wajib pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan omzet antara Rp500 juta sampai dengan Rp4,8 miliar.
Fadila Dwi Widyastuti mengatakan masih banyak potensi pajak, termasuk dari kelompok UMKM. Dengan adanya kemudahan melalui PPN final, potensi itu bisa diambil. Apalagi, menurutnya, pelaku usaha dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar di kota-kota besar bisa memiliki profit di atas Rp100 juta per bulan.
“Dan banyak dari kalangan tersebut yang belum memiliki NPWP. Dengan adanya PPN final tersebut, diharapkan tax ratio akan semakin naik dan penerimaan negara bisa menjadi optimal,” ujar Fadila.
Dalam ulasan sebelumnya juga disampaikan, penerapan PPN final berpotensi mendorong pelaku UMKM untuk menjadi PKP. Simak ‘75,2% Pengisi Survei Setuju Penerapan PPN Final Bakal Mudahkan UMKM’.
Awan berpendapat PPN final akan sangat membantu bagi para pelaku UMKM yang selama ini kesulitan dan kebingungan menghitung PPN yang harus disetor. Hal ini terutama bagi pelaku UMKM yang tidak bisa memiliki pajak masukan.
“Contohnya seperti pedagang pakaian di Tanah Abang. Mereka menggunakan banyak sekali tenaga rumahan dan freelance dalam pembuatan pakaiannya, sedangkan kainnya mereka beli dari pengrajin di daerah-daerah yang mana sebagian besar tidak mengeluarkan faktur pajak,” ujarnya.
Menurut Awan, jika PPN final bisa berlaku dengan rapi dan akurat untuk semua orang sesuai dengan kategorinya, para pedagang pasti bersedia menjadi PKP. Namun, sambungnya, masalah bisa muncul ketika ada yang membandingkan pelaku usaha yang menggunakan PPN final dan PPN normal.
Dari sisi sektor, hasil survei juga menunjukkan sebanyak 68,2% responden memilih perdagangan sebagai sektor pengguna PPN final. Urutan kedua dan ketiga adalah sektor logistik (58,9%) dan sektor pariwisata (50,4%).
Davin Andika mengingatkan pemerintah mengenai sensitifnya pajak terhadap sektor usaha. Menurutnya, penentuan sektor dan jenis barang/jasa kena pajak yang dikenai PPN final menjadi salah satu aspek yang krusial.
“Apabila pemerintah kurang tepat dalam menentukan sektor atau jenis barang/jasa yang akan dikenakan PPN final atau besaran tarifnya, dampaknya malah akan menjadi kebalikan dari tujuan semula yang diharapkan,” ujarnya.
Berdasarkan pada hasil survei, barang kena pajak yang paling banyak dipilih responden agar bisa dikenai PPN final adalah perlengkapan rumah tangga (51,2%). Kemudian, barang kena pajak selanjutnya adalah alat kesehatan (44,2%), obat-obatan (40,3%), pulsa (40,3%), dan pakaian (38,8%).
Sementara pada jasa kena pajak pilihan responden, posisi teratas adalah jasa pengiriman (54,3%). Kemudian, sebanyak 53,5% responden memilih jasa rekreasi dan hiburan. Ada pula 51,2% responden yang memilih jasa transportasi dan 48,8% memilih jasa konsultasi.
Seperti diketahui, pemerintah akan menerapkan skema pemungutan PPN final mulai 1 April 2022. Kebijakan tersebut sudah masuk dalam UU PPN s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut, pemungutan dan penyetoran PPN final dilakukan oleh pengusaha kena pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu, melakukan kegiatan tertentu, dan/atau melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP) tertentu.
Adapun ketentuan mengenai jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis BKP tertentu, jenis JKP tertentu, serta besaran PPN final yang dipungut dan disetor akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK). Simak ‘UU HPP Diundangkan, Pemerintah Matangkan Aturan PPN Final’. (kaw)