Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Skema Delivery Duty Paid (DDP) yang diwajibkan pemerintah dalam importasi dalam transaksi e-commerce dinilai memberikan kepastian bagi semua pihak. Hal ini menjadi topik beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (22/1/2019).
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.210/PMK.010/2018, DDP didefinisikan sebagai bagian dari terminologi perdagangan internasional, yang memasukkan bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor (PDRI) ke dalam unsur nilai barang impor yang tercantum pada platform.
Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan dengan skema DDP, pemerintah dan pelaku usaha mendapat kepastian dari sisi kewajiban perpajakan dalam proses importasi barang dalam transaksi e-commerce.
Selain topik tersebut, beberapa media nasional juga masih membahas topik tren penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang sampaikan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan terbarunya bertajuk ‘Corporate Tax Statistics’ edisi pertama.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan tren penurunan tarif PPh badan sulit untuk dilepaskan dari upaya untuk menggenjot perekonomian domestik dan mendorong daya saing. Namun, menurutnya, penurunan tarif bukanlah satu-satunya insentif untuk mendorong investasi.
“Ada faktor lain seperti situasi politik, ketersediaan infrastruktur, dan akses terhadap pasar yang juga harus jadi perhatian,” katanya.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dengan skema DDP, bea masuk sudah dipastikan masuk dalam harga barang impor dalam transaksi e-commerce.Penyedia platform juga bertanggung jawab atas kewajiban penyetoran bea masuk dan PDRI dalam setiap barang yang masuk ke Tanah Air.
“Jadi dengan skema ini [DDP] sebenarnya semuanya diuntungkan. Pelaku usaha juga sama [diuntungkan],” tutur Heru Pambudi.
Penggunaan skema DDP ini berpengaruh pada izin yang dikeluarkan Kepala Kantor Pabean yang memiliki frekuensi tinggi atas impor barang yang dilakukan. Pasalnya, persetujuan izin bisa dicabut jika penyedia platform tidak menggunakan skema DDP dalam 12 bulan secara terus-menerus.
Bawono mengatakan secara empiris dan pengalaman di banyak negara, penurunan tarif tidak memiliki pengaruh yang jelas terhadap kepatuhan dan kesadaran pajak. Kepatuhan dan kesadaran pajak justru lebih dipengaruhi oleh efektivitas otoritas pajak, baik dalam pelayanan, penegakan hukum, serta kepemilikan informasi tentang profil wajib pajak.
Penurunan tarif, sambungnya, juga belum tentu berpengaruh pada investasi dan ekstensifikasi aktivitas ekonomi. Menurutnya, pajak hanyalah faktor pendukung. Faktor lain seperti ketersediaan infrastruktur, kestabilan politik, kepastian hukum, akses terhadap pasar, dan sebagainya justru lebih berpengaruh.
“Di sisi lain, memang betul bahwa tarif PPh Badan yang terlalu tinggi akan memberikan risiko yang besar atas aktivitas pengalihan laba ke luar negeri. Akan tetapi, itu juga sangat tergantung dari ketersediaan ketentuan anti-penghindaran pajak seperti transfer pricing dan sebagainya,” jelas Bawono.
Ketua Bidang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyapratama mengatakan penurunan tarif pajak adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari untuk menarik arus modal masuk ke negaranya masing-masing.
“Tren dunia, tiap negara berlomba-lomba menarik investasi masuk.”
International Monetary Fund kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 3,50%. Perekonomian Asean-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam pun dipangkas dari sebelumnya 5,20% menjadi 5,10%.
Kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor untuk 1.147 barang konsumsi sejak 13 September 2018 dinilai mampu menekan laju impor. Pada Agustus 2018, impor barang konsumsi tersebut mencapai US$639,14 juta. Pada September, impor mencapai US$598,21 juta. Tiga bulan selanjutnya hingga akhir 2018, nilai impor mencapai US$594,21 juta, US$616,62 juta, dan US$538,47 juta. (kaw)