Haris Fifta Putra,
KESENJANGAN sosial menjadi salah satu persoalan mendasar yang hingga saat ini belum terselesaikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penyebab timbulnya kesenjangan sosial pada masyarakat adalah perbedaan gap kekuatan ekonomi antara si kaya dan si miskin.
Pada masa pandemi Covid-19, selama 2020, kesenjangan sosial cenderung makin tinggi. Sebagian besar orang jatuh miskin akibat kehilangan pekerjaan atau kesulitan ekonomi. Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin bertambah selama masa pandemi.
BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2020 mencapai 26,42 juta jiwa. Angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,09% dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun sebelumnya, yakni sebanyak 25,14 juta jiwa.
Di sisi lain, jumlah orang kaya juga bertambah. Data Credit Suisse menunjukkan jumlah penduduk Indonesia kategori kaya yang memiliki net worth senilai US$1 juta atau lebih mencapai 171.740 orang pada 2020. Jumlah ini melonjak hingga 61,69% dari posisi pada 2019.
Tingkat kesenjangan sosial dapat digambarkan melalui pengukuran indeks rasio gini. Rasio gini yang mendekati angka 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan makin tinggi. BPS mencatat rasio gini Indonesia pada 2020 sebesar 0,385 atau naik dari posisi pada 2019 yang sebesar 0,380.
Miliarder terkenal sekaligus filantropis asal Skotlandia, Andrew Carnegie, pernah berujar 90% orang kaya mendapatkan kekayaan lewat investasi real estate.
Pendiri perusahaan properti terkenal Teles Properties.Inc dari Amerika Serikat, Peter Hernandez, turut mengatakan kebanyakan miliarder lebih suka menyimpan aset mereka dalam bentuk tanah atau bangunan.
Kecenderungan orang kaya menyimpan aset dalam bentuk tanah dan bangunan bisa dikatakan menarik. Hal ini dikarenakan tanah atau bangunan merupakan objek kena pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Selain itu, transaksi jual beli tanah dan bangunan ini juga dapat dikenakan bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan (PPh).
PBB-P2 dan BPHTB dikelola oleh dinas pengelola pajak daerah yang berada lingkup pemerintahan kabupaten atau kota. Sementara itu, PPh dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Ada 2 pihak, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang menangani pajak berkaitan dengan tanah dan bangunan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi kedua pihak tersebut demi tercapainya misi pemerataan sosial melalui penjaringan pajak orang kaya.
SINERGI pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui berbagai langkah. Pertama, melakukan penyempurnaan data PBB-P2 yang otoritasnya ada di pemerintah daerah level kabupaten atau kota.
Sejak pengalihan penanganan PBB-P2 dari pusat ke daerah pada 2013, struktur data masih belum banyak berubah. Identifikasi subjek pajak masih berdasarkan pada nama pemilik. Hal ini mampu menyuIitkan pemerintah dalam melakukan pendataan objek pajak.
Kesulitan pendataan itu dikarenakan nama orang sering kali memiliki kemiripan ejaan atau kepenulisan. Dengan demikian, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada data objek pajak adalah hal pertama yang perlu dilakukan.
Data objek pajak yang ditautkan dengan NIK memudahkan pelacakan pemilik. Hal ini dikarenakan NIK memiliki karakteristik unik antara satu dan lainnya. Misal, cara mengetahui pemilik aset properti terbanyak di suatu kota dapat dilakukan dengan pemeringkatan jumlah objek pajak berdasarkan NIK.
Akses terhadap data NIK yang ditautkan dengan objek PBB-P2 ini dapat dilakukan institusi pajak baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah melalui integrasi sistem.
Kedua, institusi pajak pemerintah daerah perlu melakukan penyesuaian kembali tarif pajak pembelian tanah dan bangunan. Sesuai dengan UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), tarif BPHTB paling tinggi sebesar 5%.
Penjaringan pajak orang kaya yang mempunyai banyak aset properti dapat dilakukan melalui penambahan klasifikasi tarif BPHTB. Misal, tarif 6,5% untuk pembelian tanah oleh orang yang memiliki lebih dari 20 objek. Tarif dapat berjenjang, misal 5%, 6,5%, dan 7,5%, berdasarkan pada akumulasi kepemilikan objek atau aset.
Ketiga, institusi pajak pemerintah pusat perlu melakukan penyesuaian kembali tarif pajak penjualan tanah dan bangunan atau yang biasa dikategorikan masuk PPh. PPh penjualan atas tanah dan bangunan selama ini diatur dalam PP 34/2016 yakni sebesar 2,5% dari nilai penjualan objek.
Sebagaimana PPh Pasal 21 yang baru saja dilakukan penyesuaian melalui penambahan lapisan tarif, PPh penjualan tanah dan bangunan pun sudah selayaknya dilakukan penambahan layer.
Misal, tarif pajak sebesar 3% untuk orang yang menjual properti dan memiliki 20 objek saat terjadinya transaksi (setelah dikurangi aset yang terjual). Tarif pajak dapat ditambahkan pada PP 34/2016 dan dibuat berjenjang berdasarkan pada jumlah objek pajak yang dimiliki.
Ada kecenderungan orang kaya melakukan penjualan tanah demi keuntungan. Dengan demikian, perlu perbedaan tarif. Misal, ditambahkan variabel lain dalam pengenaan tarif pajak penjualan progresif, seperti riwayat pembelian tanah dalam 2 tahun terakhir berdasarkan data dari pemerintah daerah.
Perhatian terhadap kesenjangan sosial sudah selayaknya dikuti dengan pencarian solusi terbaik. Luas bumi yang kita pijak sejak jutaan tahun silam tidak berubah. Namun, jumlah manusia terus bertambah.
Golongan kaya ‘dapat mengancam’ golongan miskin, bahkan hingga turun-temurun ke generasi berikutnya. Sudah selayaknya kondisi ini tidak dibiarkan terus berlanjut.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.