Tampilan awal Working Paper DDTC No. 1919.
JAKARTA, DDTCNews – Polemik pengenaan cukai atas plastik kembali mencuat pada pertengahan tahun ini, terutama setelah Sri Mulyani dan jajarannya menggelar rapat konsultasi dengan Komisi XI DPR.
Sejatinya, wacana ini bukan merupakan hal baru karena plastik sendiri sudah pernah ditargetkan sebagai sumber penerimaan negara dalam APBN 2018 dan 2019. Proyeksi penerimaan cukai plastik dimasukkan dalam kategori cukai lainnya.
Dalam rapat konsultasi dengan Komisi XI, otoritas fiskal juga telah membeberkan secara gamblang terkait rencana dimasukkannya kantong plastik sebagai barang kena cukai (BKC) baru. Ada dua rencana usulan atas skema pengenaan cukai atas plastik tersebut.
Ekstensifikasi objek cukai, termasuk plastik, untuk Indonesia telah pernah dikaji oleh DDTC dalam Working Paper DDTC No. 1919. Mengacu pada kajian ini, terdapat beberapa justifikasi yang dijabarkan agar Indonesia dapat menerapkan cukai atas plastik. Apalagi, dari hasil komparasi objek cukai di lebih dari 50 negara yang disurvei, BKC di Indonesia masih sangat terbatas.
Dalam lima tahun terakhir, beberapa negara telah memperluas objek cukainya dengan mengenakan cukai atas plastik. Negara-negara tersebut antara lain Inggris, Afrika Selatan, Tanzania, Kenya, dan lain sebagainya. Dua negara tetangga Asean lainnya, yakni Brunei Darussalam dan Filipina, juga telah menerapkan cukai jenis ini untuk negaranya.
Pembahasan justifikasi ekstensifikasi cukai atas plastik yang diangkat dalam kajian ini pada awalnya berporos pada permasalahan lingkungan, terlebih Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik terbesar di lautan setelah China. Selain itu, konsumsi plastik yang terus meningkat juga tidak diimbangi dengan manajemen pengelolaan limbahnya.
Tidak hanya berkaitan dengan permasalahan lingkungan, cukai sebagai pungutan yang bersifat spesifik atas plastik juga menjadi pembahasan berkenaan dengan aspek kesehatan. Berdasarkan beberapa penelitian, beberapa jenis plastik disebut memiliki potensi berbahaya bagi kesehatan.
Fakta tentang dampak eksternalitas negatif, pengelolaan plastik yang buruk, serta kontribusi Indonesia dalam jumlah total polusi limbah plastik seharusnya menyatukan pendapat terkait perlunya penerapan cukai atas plastik.
Lebih lanjut, pengenaan cukai atas plastik oleh pemerintah juga dapat memberikan insentif dan disinsentif bagi pihak produsen. Produsen diharapkan lebih mempertimbangkan aspek ramah lingkungan dan aspek yang berkenaan dengan kesehatan dalam proses produksinya.
Apalagi, Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki modal awal dalam mengembangkan kebijakan cukai plastik ini. Pada 2016, pemerintah telah menginisiasi program “kantong pastik berbayar” melalui pilot project yang dilaksanakan di 23 kabupaten kota. Program tersebut telah terbukti menurunkan konsumsi plastik serta impor plastik pada saat dilaksanakan.
Mencermati hal tersebut, cukai sebagai price-mechanism dalam manajemen pengelolaan sampah kemudian dapat dikatakan bersifat lebih efektif untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan mekanisme lain, seperti imbauan atau control and command.
Setidaknya terdapat tiga aspek yang harus dipertimbangkan secara matang dalam rencana implementasi kebijakan cukai plastik kedepannya (Kristiaji, 2016). Pertama, aspek ruang lingkup pengenaan cukai plastik Aspek ini mencakup jenis komoditas serta tahapan implementasinya.
Aspek pengkategorian jenis plastik yang akan dikenakan cukai ini pada beberapa literatur menjadi faktor signifikan atas keberhasilan program ini dalam jangka panjang baik sebagai sumber penerimaan maupun untuk menurunkan dampak degradasi lingkungan.
Kedua ialah aspek desain tarif. Ketiga, mekanisme administrasi pemungutannya. Dua aspek tersebut kemudian akan lebih menentukan efektivitas dari segi administrasinya yang pada akhirnya akan berdampak pula pada sisi penerimaan. (kaw)