RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 21 atas Pembayaran Iuran Pensiun Pegawai

Vallencia
Jumat, 28 Oktober 2022 | 18.51 WIB
Sengketa PPh Pasal 21 atas Pembayaran Iuran Pensiun Pegawai

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai beberapa koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Adapun koreksi DPP PPh Pasal 21 tersebut terdiri atas transaksi pembayaran iuran pensiun, biaya tantiem direksi, dan biaya pesangon pegawai.

Otoritas pajak berpendapat iuran pensiun pegawai yang ditanggung wajib pajak badan seharusnya menjadi objek PPh Pasal 21. Kemudian, otoritas pajak menilai wajib pajak badan belum memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 atas biaya pegawai berupa tantiem direksi serta biaya pesangon. Oleh sebab itu, otoritas pajak menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas ketiga jenis biaya pegawai tersebut.

Di sisi lain, wajib pajak badan tidak sepakat dengan pendapat otoritas pajak. Menurutnya, iuran pensiun pegawai yang ditanggung wajib pajak badan bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Sehubungan dengan tantiem direksi dan pesangon, wajib pajak badan menyatakan telah menunjukkan bukti pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 terkait dengan pembayaran tersebut.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak badan. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Kronologi

WAJIB pajak badan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam perkara ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat biaya iuran pensiun pegawai tidak termasuk objek PPh Pasal 21.

Di samping itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak meyakini wajib pajak badan telah memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi dan biaya pesangon karyawan kepada otoritas pajak. Oleh sebab itu, koreksi DPP PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi dan pesangon karyawan tidak dapat dipertahankan.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak badan. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put 51909/PP/M.XB/10/2014 tanggal 16 April 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 13 Agustus 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah permohonan banding yang tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas koreksi DPP PPh Pasal 21 atas pembayaran jamsostek pegawai, tantiem direksi, dan pesangon.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Termohon PK membayar sejumlah remunerasi kepada pegawai yang menyebabkan timbulnya koreksi atas 3 objek PPh Pasal 21.

Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 21 atas iuran pensiun. Dalam kasus ini, Termohon PK membayarkan iuran pensiun pegawai kepada PT X yang merupakan suatu perusahaan pengelola dana pensiun. Menurut Pemohon PK, iuran pensiun pegawai yang biayanya ditanggung oleh Termohon PK seharusnya menjadi objek PPh Pasal 21 sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a PER-15/PJ/2006.

Kedua, koreksi DPP PPh Pasal 21 atas tantiem direksi. Terkait dengan perkara ini, Termohon PK berkewajiban membayar tantiem kepada direksi. Namun, saat proses penelitian keberatan, Termohon PK tidak dapat memberikan data yang memadai untuk membuktikan PPh Pasal 21 atas biaya tantiem sudah dipotong dan disetorkan kepada Pemohon PK dengan benar. Oleh sebab itu, Pemohon PK menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas biaya tantiem direksi.

Ketiga, koreksi PPh Pasal 21 atas pesangon. Termohon PK diketahui telah membayarkan biaya pesangon kepada pegawainya. Akan tetapi, saat proses penelitian keberatan, Termohon PK juga tidak memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan PPh Pasal 21 atas biaya pesangon telah dipotong dan disetorkan kepada Pemohon PK. Dengan demikian, Pemohon PK menetapkan koreksi PPh Pasal 21 atas biaya pesangon.

Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menjelaskan iuran pensiun tidak menjadi objek PPh Pasal 21 sepanjang iuran dibayarkan kepada perusahaan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (3) PER-15/PJ/2006. Adapun PT X sendiri merupakan perusahaan yang memberikan jasa pengelolaan dana pensiun dan atas pendiriannya telah disahkan menteri keuangan. Oleh sebab itu, iuran pensiun yang dibayarkan Termohon PK kepada PT X dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.

Terkait dengan tantiem direksi dan pesangon pegawai, Termohon PK menilai sudah menunjukkan bahwa pembayaran tersebut telah dipotong PPh Pasal 21 dan juga telah disetorkan kepada Pemohon PK. Dengan demikian, penetapan koreksi PPh Pasal 21 atas tantiem direksi dan biaya pesangon tidak dapat dipertahankan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan Pemohon PK mengenai koreksi DPP PPh Pasal 21 atas pembayaran iuran pensiun, tantiem direksi, dan biaya pesangon pegawai tidak dapat dipertahankan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan kedua belah pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, koreksi Pemohon PK tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian, tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.