SEJARAH mencatat bahwa pajak telah hadir sejak awal adanya peradaban masyarakat maju (Frecknall-Hughes, 2015). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa dokumen sejarah berupa tulisan kuno berbentuk baji di Mesopotamia, yaitu sebuah wilayah subur di antara sungai Eufrat dan Tigris yang sering dianggap sebagai tempat lahirnya peradaban manusia (sekarang dikenal sebagai negara Irak).
Dokumen berupa tulisan kuno ini menunjukkan bahwa pemungutan pajak di Mesopotamia telah dimulai sekitar 3300 Sebelum Masehi (SM), yaitu dengan adanya pajak dalam bentuk emas, hewan ternak, dan budak yang diterima oleh kuil sebagai pusat kekuasaan dan simbol kemasyarakatan bangsa Sumeria yang mendiami wilayah Mesopotamia pada saat itu (Smith, 2015).
Penemuan dokumen sejarah tertulis di Mesopotamia telah membuktikan bahwa pajak merupakan suatu subjek yang memiliki sejarah besar dan sangat panjang, yang praktiknya telah dilakukan sejak ribuan tahun lamanya. Sejarah pemungutan pajak pun tidak berhenti di Mesopotamia, tetapi juga merambah ke berbagai belahan dunia dengan bentuk pemungutan yang semakin berkembang.
Sejarah Pajak di Dunia
Selain di Mesopotamia, bentuk awal dari pemungutan pajak juga dapat ditemukan di Mesir Kuno. Bangsa Mesir Kuno telah mengenal sistem pemungutan pajak sejak 3000 SM. Pada saat itu, sistem pembayaran dengan mata uang belum dikembangkan sehingga pembayaran pajak dilakukan dalam bentuk barang (paid in kind). Oleh karenanya, sama halnya dengan Mesopotamia, pemungutan pajak di Mesir Kuno juga dilakukan dalam bentuk bagi hasil barang produksi dan pertanian serta pemberian pelayanan atau tenaga kerja (Smith, 2015).
Bagi pemerintah Mesir Kuno, pemungutan pajak menjadi kegiatan utama dalam pemerintahan sehingga tidaklah mengherankan apabila Mesir Kuno berusaha untuk mengembangkan sistem pajak yang maju. Selain membentuk birokrasi tersendiri untuk menilai dan mengawasi pemungutan pajak, sistem pemungutan pajak yang diterapkan oleh Mesir Kuno juga telah menentukan apa saja objek yang dikenakan pajak, yaitu gandum, minyak goreng, peternakan, bir, hasil pertanian lainnya, penggunaan sungai Nil untuk pengangkutan barang, serta perdagangan dengan pihak asing (Blankson, 2017).
Pemungutan pajak dalam bentuk yang lebih modern mulai dipraktikkan oleh bangsa Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Meskipun sebagian besar pemungutan pajak masih di lakukan dalam bentuk barang, untuk beberapa transaksi tertentu seperti transaksi impor barang atau penjualan tanah, pemungutan pajak sudah dilakukan dalam bentuk uang tunai (cash).
Menjelang akhir abad ke-1 SM, Kaisar Romawi Augustus menerapkan perombakan radikal terhadap sistem pemungutan pajak yang berlaku pada saat itu, yaitu dengan mengganti pemungutan pajak yang ada dengan pemungutan tetap terhadap harta kekayaan serta pemberlakuan pajak perseorangan (poll tax). Perbaikan dalam bidang administrasi pajak juga dilakukan, yaitu dengan melaksanakan sensus serta pendataan terhadap kekayaan yang dimiliki oleh rakyat. Hal ini membuat sistem pemungutan pajak yang diterapkan oleh Romawi Kuno pada saat itu dianggap berhasil mempercepat periode pertumbuhan dan kemakmuran bangsa Romawi Kuno (Smith, 2015).
Seiring dengan berakhirnya masa Kekaisaran Romawi, terjadi pula perubahan-perubahan terhadap sistem pemungutan pajak di belahan dunia lainnya. Misalnya, yang terjadi di Eropa Barat. Pada masa sebelumnya, Eropa Barat telah berhasil menghilangkan sistem pemungutan pajak tanah dengan menerapkan sistem feodal berupa sewa tanah.
Akan tetapi, situasi ini berubah ketika hanya dalam kurun dua abad, sebuah struktur politik dan ekonomi yang berbeda telah berkembang dan mengarah pada terciptanya kemakmuran bangsa Eropa Barat. Semakin meningkatnya kemakmuran di Eropa Barat menyebabkan sistem feodal tidak lagi dapat diterapkan sehingga sistem pemungutan pajak sekali lagi digunakan sebagai alat pembiayaan (Grapperhaus, 2009).
Di abad-abad akhir pemerintahan Kekaisaran Romawi, jenis pajak yang stabil dan dipungut secara teratur berdasarkan transaksi dan harta kekayaan (property) mulai bermunculan (Smith, 2015). Misalnya, yang diterapkan di United Kingdom (UK) pada masa itu, yaitu pajak yang dikenakan atas tanah dan harta kekayaan atau yang dikenal dengan istilah Danegeld. Sampai 978 M, Danegeld dipungut secara teratur dengan tarif yang ditetapkan sebesar 2 shilling untuk setiap 100-120 hektar tanah (Blankson, 2007).
Meskipun demikian, pada masa ini kerajaan juga masih sering memberlakukan pemungutan pajak secara paksa terhadap rakyat, terutama ketika kerajaan membutuhkan dana untuk membiayai peperangan atau kepentingan lainnya (Smith, 2015). Tentu saja hal ini membuat rakyat tidak senang dan menganggap pemungutan yang dilakukan kerajaan merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
Pada periode modern awal di Eropa, perubahan sosial dan ekonomi mulai menghasilkan tekanan untuk mengakhiri praktik pemungutan pajak yang sewenang-sewenang dan tidak adil, yang pada akhirnya memicu terjadinya pemberontakan di sejumlah negara di Eropa. Selain bertujuan untuk membatasi kewenangan penguasa dalam mengenakan pajak, pemberontakan ini juga dianggap sebagai upaya dalam membentuk legitimasi demokrasi dalam kebijakan perpajakan (Smith, 2015).
Pajak dan Pemberontakan
Dalam sejarahnya, penerapan pajak di dunia tidak pernah dapat lepas dari terjadinya pemberontakan. Bahkan Jane Frecknell-Hughes dalam bukunya yang berjudul The Theory, Principles, and Management of Taxation menyebutkan bahwa salah satu tema yang paling dominan dalam sejarah pajak dunia adalah pemberontakan dan protes terhadap pajak yang dianggap sewenang-wenang dan tidak adil, baik yang disebabkan karena cara pemungutannya, pihak yang dipungut, maupun karena tarif yang diterapkan (Frecknall-Hughes, 2015). Sebut saja peristiwa besar seperti Magna Carta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis tahun 1789. Ketiganya dapat dikatakan sebagai representasi dari peristiwa pemberontakan yang dipicu oleh pemungutan pajak yang dilakukan penguasa.
Magna Carta, atau yang dalam bahasa Latin disebut Magna Charta Libertatum, adalah piagam yang dipaksakan oleh para baron (para pemilik tanah) terhadap Raja John dari Inggris. Pemaksaan ini merupakan ‘buntut’ dari pergolakan yang besar ketika para baron dari bagian utara negeri itu tidak mau lagi membayar pajak kepada sang raja. Salah satu pernyataan yang penting dalam piagam tersebut yang berhubungan dengan masalah pajak adalah: “…No scutage nor aid should be levied without the consent of the common counsel of the realm…” yang artinya penguasa tidak dapat memungut pajak tanpa persetujuan dari penasihat umum kerajaan (Arlidge dan Judge, 2014).
Sementara itu, dalam Revolusi Prancis, pajak menjadi salah satu penyebab meletusnya peristiwa ini, yaitu dengan adanya kesewenangan dan ketidakadilan Raja Louis XIV dalam memungut pajak. Pada masa itu, raja membuat rakyat biasa harus membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan kaum bangsawan dan pendeta demi memenuhi kehidupan raja dan para bangsawan istana serta permaisuri Louis XVI yang penuh kemewahan dan kemegahan.
Pemberontakan yang disebabkan oleh pajak juga mewarnai sejarah pemungutan pajak di Amerika Serikat. Sejarah mencatat terdapat banyak pemberontakan yang terjadi akibat adanya kebencian koloni Amerika terhadap pemberlakuan Undang-Undang Parlemen yang disahkan oleh Kerajaan Britania Raya untuk mengenakan pajak terhadap koloni Amerika, seperti Molasses Act, Sugar Act, Stamp Act, Townshed Act, serta Tea Act. Pemberontakan tersebut meliputi pembantaian Boston, Boston Tea Party, dan Revolusi Amerika pada tahun 1775. Ketiga peristiwa tersebut saling berhubungan dan yang disebut terakhir merupakan peristiwa yang menjadi puncak pemberontakan sekaligus penanda terjadinya revolusi sistem pemungutan pajak di Amerika Serikat (Frecknel-Hughes, 2015).
Penutup
Terlepas dari alasan, motivasi, serta segala masalah yang terjadi dalam pemungutan pajak, Lymer dan Hasseldine berpendapat bahwa pemungutan pajak telah dilaksanakan oleh berbagai negara di berbagai tempat dan waktu (Bordopoulus, 2015). Oleh karenanya, dalam membahas sejarah pajak dunia, kita harus berjalan melalui waktu untuk melihat bagaimana pajak tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, perubahan yang dialaminya, serta tantangan yang dihadapi hingga pajak dapat menjadi “alat” terbaik untuk membangun suatu pemerintahan (Blankson, 2007).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.