PERAN pihak ketiga perantara (intermediaries) antara wajib pajak dan otoritas masih cukup strategis dalam upaya peningkatan kepatuhan. Peran itu berpotensi makin besar seiring dengan dinamisnya lanskap perpajakan sebagai dampak dari perkembangan model bisnis dan aktivitas perekonomian.
Kita ambil contoh perkembangan model bisnis akibat penggunaan teknologi menuntut adanya terobosan administrasi. Salah satu terobosan itu adalah kehadiran Pasal 32A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP terkait dengan penunjukan pihak lain sebagai pemungut dan/atau pemotong pajak.
Pilihan skema pemotongan dan/atau pemungutan dengan sistem withholding tax tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan digitalisasi dalam model bisnis dan aktivitas perekonomian. Dalam konteks ini, pihak ketiga adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi.
Skema pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang mengandalkan ‘bantuan’ pihak ketiga ini memang menjadi terobosan administrasi untuk meningkatkan kepatuhan serta menunjang sistem self assessment lewat pemanfaatan data lebih efektif dan efisien. Tentu ini peran yang cukup besar.
Penerapan sistem itu bisa menekan biaya pemungutan (cost of collection) pajak di Indonesia. Namun, perlu dipahami, pendelegasian tanggung jawab itu juga memberi beban administrasi tambahan (legal remittance responsibility). Alhasil, ada risiko peningkatan biaya kepatuhan (cost of compliance).
Dalam konteks tersebut, mengutip rekomendasi tim DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) dalam Desain Sistem Perpajakan Indonesia, penentuan legal remittance responsibility perlu dilakukan hati-hati dengan memperhatikan keseimbangan antara tingkat kepatuhan dan biaya kepatuhan.
Selain itu, penunjukan pihak lain sebagai pemungut dan/atau pemotong pajak harus dilihat sebagai upaya meningkatkan kualitas informasi. Hal ini mengingat pihak ketiga—terutama dalam konteks penyedia platform digital—menjadi pemegang informasi aktivitas ekonomi.
Artinya, orientasi bukan semata pada penerimaan atas penyetoran pajak dari wajib pajak lain (legal remittance responsibility). Pemungut dan/atau pemotong seharusnya tidak dibebani dengan kewajiban administrasi serta sanksi yang kurang proporsional.
Contoh lain peran pihak ketiga terlihat dalam kaitannya dengan reformasi kebijakan pajak. Dalam konteks ini, peran akuntan, konsultan pajak, dan akademisi misalnya, juga menjadi makin penting. Keberadaaan mereka dapat membantu memberikan pemahaman tentang ketentuan pajak.
Dalam konteks banyaknya ketentuan dalam undang-undang perpajakan beserta aturan turunannya, konsultan pajak memainkan peran sentral terkait dengan kepatuhan, baik dari sisi wajib pajak maupun dari sisi definisi tingkat kepatuhan yang dapat diterima oleh otoritas.
Dengan pemahaman yang tepat, wajib pajak dapat mengetahui hak dan kewajibanya. Untuk para calon wajib pajak, ada potensi peningkatan kesadaran pajak. Tentu saja, situasi tersebut juga diharapkan otoritas dalam konteks peningkatan kepatuhan pajak.
Selain itu, mereka juga dapat memberikan saran kebijakan, terutama melalui berbagai hasil penelitian lapangan. Dengan demikian, kebijakan yang ditempuh otoritas pada masa mendatang makin mencerminkan prinsip keadilan dalam pemajakan.
Terlepas dari berbagai aspek yang diambil, masing-masing pihak ketiga memiliki peran masing-masing dalam upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Dalam konteks ini, otoritas perlu memandang pihak ketiga sebagai mitra yang setara. Sesuai salam yang sering kita dengar: salam satu bahu. (kaw)