REALISASI penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN)Â kuartal I tahun ini yang menurun 8,9% (yoy) menimbulkan pertanyaan. Pada periode yang sama tahun sebelumnya, realisasi penerimaan PPN masih melaju kuat 15%, juga pada tahun sebelumnya lagi yang tumbuh 18,2%.
Alasan Kementerian Keuangan untuk persoalan ini adalah rendahnya impor dan dipercepatnya restitusi atau pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Percepatan restitusi dimulai 12 April 2018, ditandai terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2018.
PMK yang mengatur tata cara restitusi dan profil risiko wajib pajak ini juga mencabut dan menyatakan tidak berlaku PMK No.71/PMK.03/2010, Pasal 5 sampai 7 PMK No.72/PMK.03/2010, Pasal 18A PMK No.147/PMK.04/2011, PMK No.74/PMK.03/2012, dan PMK No.198/PMK.03/2013.
PMK No.39/2018 juga telah diperinci dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2018 yang mengatur wajib pajak kriteria tertentu atau pengusaha kena pajak berisiko rendah, serta petunjuk pelaksanaannya yaitu Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-10/PJ/2018 pada 8 Juni 2018.
Sejak itulah, mulai Mei-Juni 2018 (yoy), permohonan restitusi melonjak 124% menjadi Rp5,88 triliun. Dari total nilai itu, jumlah yang dikabulkan naik 63,4% (yoy) menjadi Rp2,80 triliun. Dari Mei-Desember (yoy), pengajuannya tumbuh 91% menjadi Rp20,46 triliun.
Total sepanjang 2018, restitusi PPN dan pajak penghasilan (PPh) yang sudah dibayar mencapai Rp118 triliun, meningkat 7,2% dari posisi tahun sebelumnya yang Rp110 triliun. Setiap tahun, rata-rata pembayaran restitusi pajak meningkat sekitar 10%, tahun ini ditaksir 20%.
Namun, restitusi adalah hak wajib pajak. Karena itu, restitusi seharusnya tidak perlu dipersoalkan hingga ia seolah-olah menjadi penyebab melemahnya kinerja penerimaan pajak. Restitusi adalah konsekuensi logis dari sistem PPN yang dianut Indonesia.
Justru, makin pendek waktu yang dibutuhkan untuk mencairkan restitusi, berarti makin baik layanan yang diberikan Ditjen Pajak. Sebab, wajib pajak yang memohon restitusi wajib diperiksa Ditjen Pajak. Di sini, kita mengukur seberapa cepat audit pajak itu bisa dilakukan.
Dengan statusnya sebagai hak wajib pajak pula, restitusi butuh kepastian. Sampai seberapa lama restitusi bisa dicairkan, berapa bulan periode waktunya. Dan jika tidak dikabulkan setelah periode waktu itu terlewati, permohonan restitusi otomatis dinyatakan diterima, dan dicairkan.
Karena di Indonesia ini waktu maksimal pencairan restitusi 12 bulan sejak dokumen diterima dan dinyatakan lengkap oleh Ditjen Pajak, dengan sendirinya pencairan restitusi juga menjadi alat pengatur irama penerimaan. Istilahnya, untuk mengendurkan atau mengerutkan penerimaan.
Mengingat ‘fungsi’-nya sebagai alat khusus ini, tidak mengherankan restitusi pada periode awal tahun selalu tinggi. Pada Januari-Maret 2019, pembayaran restitusi mencapai Rp50,65 triliun, tumbuh 47% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang tumbuh 34,26% (yoy).
Karena itu, untuk menjawab kenapa penerimaan PPN turun, kita harus melihat siklus tahunan. Impor barang modal dan konsumsi dalam negeri berpotensi meningkat pada kuartal berikutnya. Sudah ada kepastian tentang Pemilu, dan ada Lebaran. Itu yang jangan dilupakan. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.