Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Kemenkeu)
PENGALAMAN memberikan pelajaran. Namun, pepatah itu tampaknya tidak selalu berlaku. Pada tahun 2005, pemerintah mengajukan Paket Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak ke parlemen. Pemerintah juga meminta agar DPR memprioritaskan pembahasan Paket RUU tersebut.
Paket RUU Pajak itu terdiri atas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), RUU Pajak Penghasilan (PPh), dan RUU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Sejak reformasi 1983, RUU Pajak dibahas pararel karena memang kesalingterkaitannya.
Sesuai dengan permintaan pemerintah, DPR pun segera memproses Paket RUU itu. Prosedurnya pun dijalankan, mulai dari membentuk panitia khusus, menjaring pendapat warga melalui rapat dengar pendapat, menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) dan membahasnya bersama pemerintah.
Sampai pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono sekoyong-konyong melakukan resafel kabinet. Menteri Keuangan Jusuf Anwar dicopot dan digantikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) Sri Mulyani Indrawati.
Segera setelah resafel itu, pembahasan Paket RUU Pajak pun berhenti. Menkeu yang baru memberi sinyal akan mengubah materi RUU KUP, PPh sekaligus PPN, seraya mencopot dirjen pajak. DPR pun akhirnya menunggu kelanjutan pembahasannya. Paket RUU Pajak toh memang bukan inisiatif DPR.
11 April 2006, Menkeu Sri Mulyani mengundang para tokoh pengusaha di Indonesia untuk membahas Paket RUU itu. Hasilnya, materi tiga RUU itu pun berubah. Informasi yang beredar menyebutkan, 80% usulan pengusaha disetujui. Perubahan terbesar ada pada RUU KUP, disusul pada RUU PPh.
31 Mei 2006, Menkeu Sri Mulyani mengirim naskah baru paket RUU Pajak yang lebih business friendly itu ke DPR, sekaligus menarik naskah lama yang tengah dibahas. DPR bergeming. Sebab menurut tata tertib DPR, hanya Presiden yang berhak menarik RUU yang sudah dikirimkan ke DPR, bukan menteri.
Apalagi, naskah RUU Pajak yang lama sudah dibahas. Dengan naskah baru tersebut, berarti DPR harus mengulang kembali prosesnya dari awal. Akhirnya, DPR mendiamkan naskah baru RUU Pajak tersebut, sekaligus menghentikan pembahasan naskah RUU Pajak yang lama. Sebuah krisis politik pun meletus.
Beberapa pekan kemudian, Presiden Yudhoyono mengundang para pimpinan partai politik ke Istana. Dalam pertemuan itu disepakati, pemerintah akan menitipkan usulan barunya melalui DIM fraksi-fraksi di DPR, dalam hal ini fraksi pendukung pemerintah. Presiden lalu menarik Surat Menkeu per 31 Mei tadi, dan krisis politik pun berakhir.
***
SUDAH setahun lebih naskah RUU KUP berdiam di DPR. Itu RUU KUP yang dirumuskan oleh Menkeu Bambang PS Brodjonegoro. Tidak seperti pengajuan RUU Pajak sebelumnya, untuk kali pertama RUU Pajak dibahas terpisah. Naskah RUU KUP masuk Mei 2016, RUU PPh dan PPN menyusul entah kapan.
Namun, dari isi RUU KUP yang sudah masuk, sulit untuk tidak menyimpulkan, bahwa pemerintah berniat mengoreksi kesalahan UU KUP sebelumnya. Tendensi untuk menetralisir paham business friendly terlihat sangat kentara, terbukti dengan munculnya pasal-pasal yang public friendly.
Bukti paling terang adalah bagaimana naskah RUU KUP itu mengembalikan format keberatan dan banding (Pasal 25 dan 27) ke UU KUP Tahun 2000, yang diubah sedemikian rupa oleh UU KUP Tahun 2007. Pada pembahasan RUU KUP tahun 2007, dua pasal itulah yang disepakati terakhir kali di DPR.
27 Juli 2016, Presiden Jokowi mencopot Menkeu Bambang dan melantik Sri Mulyani untuk menggantikannya. Seolah mengulang kisah 10 tahun lalu, Menkeu Sri Mulyani pun memberi sinyal merombak RUU KUP yang sudah di DPR. Poin paling jelas yang sempat disebutkannya adalah keengganannya memisahkan Ditjen Pajak (DJP) dari Kemenkeu.
Di luar soal kelembagaan DJP itu, dan faktanya secara keseluruhan sampai hari ini, belum ada keterangan yang terperinci dari Kemenkeu, tentang apa saja materi yang akan diubah di RUU KUP, bagaimana posisi barunya, dan bagaimana cara mengubahnya, apa dengan menarik naskah yang lama atau menitipkannya melalui DIM fraksi-fraksi di DPR.
Tentu ini bukan sejenis krisis politik. Tapi hasil dari ketidakjelasan itu sama belaka seperti pada pembahasan RUU KUP 10 tahun lalu, yaitu diamnya naskah RUU KUP di parlemen. Kalau memang Kemenkeu berniat segera merevisi UU KUP—pokok yang merupakan jantung agenda reformasi pajak ini—DPR niscaya akan segera memulai pembahasannya.
Ingat, RUU KUP ini inisiatif pemerintah. Program pengampunan pajak yang mengawali proses panjang reformasi pajak ketiga di Indonesia juga sudah berakhir. Apabila Kemenkeu tidak kunjung siap dan memperjelas sikapnya tentang RUU KUP, lalu berlanjut ke RUU PPh dan PPN, kita sebaiknya bersiap dengan prospek gagalnya agenda reformasi pajak. (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.