Pada 30 Juni hingga 2 Juli 2016, Institute for Austrian and International Tax Law dan Vienna University of Economics and Business kembali mengadakan rangkaian seminar bertajuk ‘Rust Conference’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji mengikuti rangkaian acara tersebut. Berikut bagian keenam dari laporannya:
ADA pergeseran paradigma yang dipergunakan oleh otoritas pajak di berbagai negara. Pemungutan pajak, walaupun bersifat memaksa, semakin berorientasi pada klien atau dalam hal ini wajib pajak. Memudahkan dan melayani tidak hanya menjadi jargon semata, namun juga menjadi aktivitas yang dapat dipertanggungjawabkan dan diukur kinerjanya.
Peran Teknologi
BANYAK kasus ketidakpatuhan pajak justru bukan didasari oleh motif kesengajaan. Tidak dimilikinya informasi, kompleksitas sistem, atau biaya kepatuhan yang tinggi menjadi alasan utamanya.
Pada umumnya ada dua solusi dalam hal administrasi pajak untuk mengatasi hal tersebut: (i) penyederhanaan peraturan (simplification rules) dan (ii) memperkenalkan teknologi informasi yang memudahkan.
Khusus mengenai teknologi informasi, kini semakin banyak otoritas pajak yang memiliki unit khusus yang bertanggungjawab dalam pengembangannya. Produk-produk jasa digital jasa pajak juga semakin jamak ditemukan.
Sebagai contoh, di tahun ini Inggris memperkenalkan Personalized Digital Account (PDA) untuk wajib pajak usaha kecil dan menengah. Dengan adanya PDA, maka tidak diperlukan lagi adanya SPT sehingga menurunkan biaya administrasi baik di sisi wajib pajak maupun otoritas pajak Inggris (HMRC). PDA rencananya akan diperluas ke seluruh wajib pajak mulai 2018.
Kenya Revenue Authority (KRA) juga kini bersiap-siap untuk mengoptimalkan sistem pembayaran digital (M-Pesa) dalam rangka memetakan kepatuhan wajib pajak. Sedangkan di Hungaria, Kanada, dan Kazakhstan terdapat upaya sistematis untuk mendorong pembayaran, pelaporan, dan perhitungan pajak secara digital.
Strategi Komunikasi
OTORITAS pajak kini juga dituntut untuk memiliki strategi komunikasi dan marketing yang efektif. Belanda telah memulai hal ini sejak 1993 dengan dibukanya call center hingga diluncurkannya pelaporan pajak secara elektronik di tahun 2008.
Implementasinya bukanlah hal yang mudah. Call center di Belanda pernah hanya mendapatkan nilai 4 (dari skala 0-10) dari survei yang diadakan oleh Dutch Consumers’ Association. Sedangkan, program e-SPT-nya nyaris gagal karena daya dukung situs yang tidak memadai pada saat batas akhir pelaporan.
Pengalaman menarik lainnya dapat ditemukan di Finlandia. Otoritas pajak Finlandia (FTA) memiliki profil khusus di sosial media untuk memberikan panduan dan ajakan untuk taat pajak. Tidak hanya itu, mulai April tahun ini, FTA membuka chat service di situs mereka untuk melayani wajib pajak yang ingin bertanya secara anonim.
Berbagai aktivitas untuk memudahkan dan melayani, telah membuat kinerja otoritas pajak tidak hanya diukur sebatas pada penerimaan yang bisa dikumpulkan. Lebih jauh dari itu, kepuasan wajib pajak kini juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya (Crandall, 2010).*