Katerina Perrou saat memaparkan materi dalam webinar yang diselenggarakan oleh Chartered Institution of Taxation (CIOT) pada 16 September 2020.
TIDAK dapat dipungkiri, keberadaan mekanisme automatic exchange of informastion (AEoI) telah meningkatkan transparansi dan mencegah praktik ketidakpatuhan pajak yang terjadi di berbagai negara. Pada akhir 2019, sudah hampir 100 negara yang bertukar informasi secara otomatis.
Hingga 2019, pertukaran ini mencakup informasi dari 84 juta akun atau senilai EUR10 triliun secara global. Adanya program pertukaran informasi tersebut seharusnya sejalan dengan upaya perlindungan hak-hak wajib pajak.
Perkembangan pertukaran informasi saat ini dan urgensi perlindungan hak-hak wajib pajak atas pertukaran informasi tersebut menjadi pembahasan dalam webinar yang diselenggarakan oleh Chartered Institution of Taxation (CIOT) pada 16 September 2020.
Pihak penyelenggara menghadirkan Katerina Perrou sebagai narasumber. Katerina Perrou merupakan asisten profesor di University of Athens Law School dan tax adviser di Athena, Yunani.
Perrou juga telah menyelesaikan studinya hingga meraih gelar PhD dengan disertasi berjudul Taxpayer Participation in Tax Treaty Dispute Resolution di Institute of Advanced Legal Studies (IALS), University of London. Penulis, Tax Researcher Hamida Amri Safarina, menjadi salah satu peserta dalam diskusi tersebut.
Keikutsertaan Hamida Amri Safarina dalam webinar ini merupakan bagian dari program Human Resources Development Programme (HRDP) DDTC. Program ini diberikan oleh DDTC kepada para profesionalnya untuk mengikuti berbagai pelatihan, sertifikasi, kursus, hingga pendidikan pascasarjana di berbagai lembaga dan universitas ternama, baik di dalam maupun luar negeri.
Perrou menjelaskan perlindungan hak wajib pajak urgen untuk diperhatikan karena sebagai bentuk hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hak wajib pajak merupakan aspek fundamental dari perpajakan.
Dalam konteks tersebut, negara-negara yang menjalankan mekanisme AEoI sebaiknya memberikan batasan yang jelas terkait hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan suatu negara terhadap wajib pajak. Hal ini merupakan bagian dari keseimbangan antara kekuasaan negara dan penjaminan hak-hak wajib pajak.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah ketika upaya perlindungan hak-hak wajib pajak atas adanya pertukaran informasi di setiap negara berbeda. Misalnya, otoritas pajak di Uni Eropa melakukan pertukaran informasi data ke Amerika Serikat. Kebijakan kerahasiaan data wajib pajak di Eropa mungkin saja sudah terjamin, tetapi bagaimana jika sistem dan aturan kerahasiaan data di Amerika Serikat tidak sebaik di Eropa?
Untuk itu, ketika melakukan pertukaran informasi, kebijakan kerahasiaan data di negara-negara yang dituju sebaiknya sama dengan kebijakan di negaranya. Sebab, otoritas pajak pemilik data juga harus memastikan data yang dikirimkan tidak akan disalahgunakan.
Selain itu, terdapat standar yang berbeda terkait aturan penggunaan informasi yang diperoleh secara illegal, misalnya antara European Court of Human Rights (ECtHR) dengan Court of Justice of the European Union (CJEU).
Pertukaran informasi memang memberikan banyak manfaat. Namun, perlindungan hak-hak wajib pajak tetap tidak boleh dikesampingkan. Katerina Perrou menyarankan adanya kesepakatan global untuk membentuk taxpayers bill of rights atau membuat standar minimum atas hak-hak wajib pajak yang harus dilindungi.
Hal tersebut agar tidak ada penyalahgunaan data yang telah diberikan oleh wajib pajak. Selanjutnya, rumusan taxpayers bill of rights tersebut diketahui, disetujui, dan ditandatangani oleh semua negara yang mengikuti program pertukaran informasi.
Rumusan tersebut setidaknya termuat tiga hal. Pertama, cara memperoleh informasi wajib pajak. Meskipun memiliki kewenangan, tetap saja, tata cara memperoleh informasi yang dibutuhkan harus berada dalam koridor etika dan tidak mendistorsi aktivitas wajib pajak.
Kedua, hak wajib pajak untuk mengetahui informasi terkait dirinya yang dipertukarkan dengan negara lain. Sebaiknya, suatu individu yang berada di suatu negara mendapat notifikasi dari pemerintah negara tersebut mengenai informasi yang diberikan ke negara asalnya. Ketiga, jaminan negara-negara yang mendapatkan informasi wajib pajak untuk tidak menyebarluaskan dan menyalahgunakannya.
Sebagai penutup, narasumber menyampaikan efektivitas pertukaran informasi dan transparansi dapat ditingkatkan dengan cara melindungi kepentingan wajib pajak. Pada akhirnya, keadilan pajak tidak boleh direduksi hanya untuk meningkatkan kekuasaan otoritas pajak di suatu negara.*