PERSPEKTIF

Konsep dan Pemajakan atas Penghasilan Modal

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 11 Juli 2020 | 10.32 WIB
ddtc-loaderKonsep dan Pemajakan atas Penghasilan Modal
Managing Partner DDTC

TIDAK dapat disangkal, Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu jenis pajak yang paling populer di dunia. Bahkan, bagi beberapa negara, PPh telah menjadi sumber penerimaan yang utama, termasuk juga di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, objek PPh dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Salah satunya adalah penghasilan modal atau yang dikenal dengan istilah capital income. Di beberapa negara, penghasilan ini disebut juga dengan istilah investment income atau property income (Burns dan Krever, 1998).

Seperti halnya penghasilan dari hubungan pekerjaan atau penghasilan dari kegiatan usaha. Penghasilan modal memiliki konsep tersendiri serta berbagai contoh jenis penghasilan yang dikategorikan sebagai penghasilan modal. Penerapan PPh atas penghasilan ini pun bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Lantas, apa itu penghasilan modal? Kemudian, bagaimana pemajakan atas penghasilan ini?

Pengertian Penghasilan Modal

Berdasarkan definisi Schanz, Haig, dan Simons (SHS), sebagaimana dikutip dari Mansury (1992), penghasilan modal mencakup semua tambahan kekayaan dalam bentuk keuntungan yang terealisasi atau belum terealisasi ke dalam nilai aset yang menjadi sumber penghasilan. Selain itu, penghasilan modal juga mencakup keuntungan yang diperoleh dari adanya perbedaan dari harga pasar atas nilai buku harta yang dimiliki.

Definisi SHS yang dipaparkan di atas terbilang cukup luas. Oleh karena itu, untuk lebih mudah dipahami, beberapa ahli pajak mencoba mengartikan definisi penghasilan modal disertai dengan contoh-contoh jenis penghasilan modal.

Mansury (1992) menjelaskan bahwa penghasilan modal dapat didefinisikan sebagai penghasilan yang diterima sebagai imbalan atas modal berupa uang, barang modal, atau kekayaan intelektual. Misalnya, bunga sebagai imbalan atas peminjaman uang, dividen sebagai imbalan atas penyertaan modal ekuitas dalam bentuk saham, royalti sebagai imbalan atas penggunaan hak cipta, paten, atau know how serta atas sewa tanah, bangunan, dan peralatan.

Senada dengan Mansury. Broadway (2004) dalam tulisannya yang berjudul “The Dual Income Tax System – An Overview” juga menyebutkan bahwa penghasilan modal mencakup seluruh penghasilan yang berasal dari aset, termasuk dividen, bunga, royalti, dan sewa. Bedanya, dalam pengertian tersebut, Broadway ikut pula memasukkan keuntungan dari kegiatan usaha pribadi dan juga capital gain yang berasal dari aset keuangan dan properti sebagai contoh penghasilan modal.

Sementara itu, Sorensen (2010) memberikan contoh jenis penghasilan modal yang lebih beragam. Yaitu, penghasilan modal mencakup bunga, dividen, capital gain, sewa, penghasilan dari harta pribadi, royalti, dan penghasilan dari surat berharga.

Jenis penghasilan yang termasuk dalam pengertian penghasilan modal sangat bervariatif di tiap negara. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, jenis penghasilan yang masuk dalam pengertian penghasilan modal telah dibedakan dengan jelas dari penghasilan dari pekerjaan (Kamin, 2016).

Contohnya, bunga, sewa, royalti, dividen, capital gain, dan penghasilan lainnya yang berasal dari suatu aset. Termasuk pula dalam pengertian penghasilan modal di negara ini adalah penghasilan dari surat berharga, anuitas, serta bunga yang berasal dari trust (Public Financial Disclosure Guide, 2019).

Selain AS, ketentuan peraturan perundang-undangan PPh di Indonesia pun telah memuat contoh-contoh jenis penghasilan modal. Tepatnya, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU PPh. Yaitu, bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.

Kemudian, beberapa negara juga memasukkan penghasilan dari pensiun dan bunga tabungan sebagai bagian dari penghasilan modal (Bravo, 2006). Bahkan, di United Kingdom (UK) dan negara persemakmurannya, pembebasan utang dianggap sebagai penghasilan modal sehingga ketentuan pengenaan PPh-nya akan mengikuti ketentuan PPh atas penghasilan modal yang berlaku di negara tersebut (Ault dan Arnold, 2010).

Meskipun contoh jenis penghasilan modal bervariatif, penjelasan di atas menunjukkan bahwa umumnya penghasilan modal bersifat pasif. Pasalnya, penghasilan ini diperoleh dengan tidak melibatkan penggunaan aktivitas fisik untuk mendapatkan penghasilan tersebut.

Ini tentunya berbeda dengan penghasilan aktif seperti penghasilan atas kegiatan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas ataupun melakukan kegiatan usaha aktif (Darussalam, Septriadi, dan Hutagaol, 2010). Tidak heran jika penghasilan modal sering pula disebut dengan penghasilan pasif.

Pemajakan Penghasilan Modal

Setiap negara bervariasi mengenai cara atau metode yang digunakan dalam mengenakan PPh atas penghasilan modal. Misal, kebanyakan negara industri memilih untuk menerapkan rezim umum PPh dalam memajaki penghasilan modal.

Sementara itu, beberapa negara Nordik, memilih menerapkan pemajakan dengan tarif tetap (flat rate) atas penghasilan ini. Pasalnya, penerapan tarif tetap yang relatif rendah atas penghasilan modal dianggap mampu mengurangi distorsi dalam menentukan keputusan investasi maupun menginternalisasikan inflasi yang umumnya menyertai nilai investasi (Genser, 2006).

Selanjutnya. di banyak negara berkembang, sistem pengenaan PPh atas penghasilan modal umumnya dilakukan melalui pemotongan PPh final. Misalnya, terhadap dividen atau bunga yang dibayarkan kepada subjek pajak orang pribadi ataupun terhadap royalti dan sewa (Thuronyi, 2003). 

Bukan tanpa alasan mengapa negara berkembang memilih sistem ini. Pertama, penerapan pemotongan PPh final atas penghasilan modal memiliki kelebihan berupa kesederhanaan dalam administrasi (Genser, 2006).

Kedua, pemotongan PPh final atas penghasilan modal yang sifatnya sederhana serta tanpa adanya kewajiban untuk melaporkan pajak dalam SPT tahunan dapat mengurangi biaya administrasi pajak dan menyederhanakan prosedur kepatuhan pajak (Randelovic, 2008).

Dalam praktiknya, pelaksanaan pemajakan atas penghasilan modal bukanlah tanpa masalah. Tercatat, ada dua masalah umum yang timbul dari pemajakan atas penghasilan ini. Pertama, dari sisi kebijakan, pemajakan atas penghasilan modal dianggap sebagai sesuatu yang rumit karena pengenaan pajak atas penghasilan ini cenderung menyebabkan larinya modal dari suatu negara.

Akibatnya, terdapat negara yang menciptakan metode pemajakan sedemikian rupa agar mencegah terjadinya pelarian modal. Sebagai contoh, Jerman menerapkan pemajakan atas bunga dengan tarif tetap sebagai upaya mencegah “larinya” modal dari Jerman ke negara “tetangganya” (Thuronyi, 2003). Untuk tujuan yang sama, pada tahun 2009, Jerman juga mulai menerapkan tarif tetap sebesar 25% atas capital gain yang diterima oleh orang pribadi dari investasi keuangan (Nienaber, 2017).

Kedua, terkait penentuan biaya apa saja yang dapat menjadi pengurang penghasilan, terutama terkait biaya bunga. Di AS, biaya bunga yang dapat dijadikan pengurang penghasilan terbatas hanya atas bunga investasi.

Sementara itu, di Prancis, bunga investasi sama sekali tidak boleh menjadi pengurang penghasilan. Sama halnya dengan Prancis, bunga investasi secara umum juga tidak menjadi biaya pengurang penghasilan di UK (Thuronyi, 2003).

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
mona
baru saja
Artikel yang menarik sekali membahas penghasilan dari modal usaha