ANALISIS

Pilih Banding, MAP, atau APA?

Redaksi DDTCNews
Jumat, 03 Juni 2016 | 15.17 WIB
ddtc-loaderPilih Banding, MAP, atau APA?
DDTC Consulting

SECARA umum, wajib pajak (WP) di Indonesia memiliki tiga alternatif sarana yang dapat dipergunakan untuk menghadapi sengketa terkait dengan koreksi transfer pricing akibat perbedaan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arms’ length principle).

Ketiga alternatif sarana itu adalah mengajukan prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedure/ MAP), menempuh kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/ APA) atau mengajukan banding ke Pengadilan Pajak hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Penggunaan MAP didasarkan ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Sementara APA dan banding adalah upaya unilateral/ sepihak yang tidak didasarkan pada ketentuan P3B. Dua alternatif tersebut adalah sarana yang diberikan oleh hukum domestik yang berlaku di Indonesia.

Permohonan banding dapat diajukan WP hanya kepada badan peradilan pajak atas suatu surat keputusan keberatan. Pada tahun 2012-2013, penyelesaian banding dari sejak permohonan banding diajukan WP ke Pengadilan Pajak rata-rata memakan waktu 22 bulan.

Pada periode yang sama, ada 83 sengketa transfer pricing yang terdiri dari berbagai pokok sengketa, antara lain metode transfer pricing, substansi dari transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, serta pencarian pembanding dan penentuan hasil kewajaran laba/ harga. (DDTC, 2012)

Prosedur Persetujuan Bersama

MAP dilakukan Dirjen Pajak dan otoritas pajak negara/ jurisdiksi mitra yang dilaksanakan menurut P3B. Jangka waktu penyampaian MAP di masing-masing P3B dihitung sejak tanggal pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B.

Perlu diperhatikan, sebetulnya MAP dapat dilakukan secara bersamaan dengan proses banding. Namun, Dirjen Pajak dalam hal ini Direktur Peraturan Perpajakan II berwenang menghentikan proses MAP apabila persetujuan bersama belum diraih, sementara putusan bandingnya telah diucapkan.

Kewenangan itu diberikan untuk menghindari upaya ganda yang tidak efektif. Sebab dengan keluarnya putusan banding, otoritas pajak telah terikat secara hukum dengan putusan tersebut. Kalaupun setelah itu proses MAP berhasil mencapai titik temu, persetujuan bersama itu tidak dapat diimplementasikan.

Itu berarti, pada dasarnya WP harus memilih jalur penyelesaian sengketa yang ditempuh, apakah melalui MAP atau banding tetapi tidak dua-duanya secara bersamaan kecuali MAP bisa menghasilkan persetujuan bersama sebelum sidang pengadilan pertama dimulai, yang mana hal ini sangat sulit dilakukan.

Karena itu, pelaksanaan MAP memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihannya, Direktur Peraturan    Perpajakan II memiliki kompetensi guna menghasilkan solusi terbaik bagi kedua pihak untuk menghindari pemajakan berganda. Selain itu, beban pembuktian ditanggung pihak yang mengajukan koreksi.

Adapun kekurangannya, WP memiliki keterbatasan untuk dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan proses MAP. Berbeda dengan proses banding di mana WP melakukan upaya sendiri, dalam proses MAP proses tersebut ditangani oleh otoritas pajak.

Selanjutnya, tak ada kepastian kapan suatu sengketa akan selesai karena otoritas pajak juga tidak memiliki kewajiban membuat suatu keputusan atas hasil sengketa. Selain itu, ada risiko terjadinya set-off  sengketa yang sedang dihadapi dengan sengketa lain, antara otoritas- otoritas pajak yang terkait dalam suatu MAP.

Kesepakatan Harga Transfer

PADA prinsipnya, APA berangkat dari perjanjian tertulis antara Dirjen Pajak dan WP atau Dirjen Pajak dan otoritas pajak negara mitra/ jurisdiksi P3B yang  melibatkan WP untuk menyepakati kriteria dan/ atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.

Secara umum, dikenal dua tipe APA, yaitu secara unilateral dan bilateral/ multilateral. APA unilateral dilakukan antara WP dengan satu otoritas pajak, sedangkan APA bilateral/ multilateral dilakukan antara WP dengan dua atau lebih otoritas  pajak.

Perlu diperhatikan, APA bukan merupakan prosedur penyelesaian sengketa yang didasarkan pada P3B. Itu berarti, APA dapat diajukan juga pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa di negara yang bukan merupakan mitra P3B.

Berbeda dengan pelaksanaan MAP yang memerlukan ketentuan dalam P3B sebagai dasar hukumnya, pelaksanaan APA cukup ditempuh melalui 5 tahapan. Hal ini telah diatur Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer.

Kelima tahapan itu adalah 1) Pembicaraan awal; 2) Permohonan APA; 3) Pembahasan APA; 4) Penandatanganan kesepakatan hasil analisis; dan 5) Pelaksanaan serta evaluasi. Dengan melihat perbedaan itu, tentu saja APA memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.

Kelebihannya, suasana  yang  diciptakan APA lebih kooperatif dan tidak kontroversial. APA juga dapat meningkatkan kepastian dalam perencanaan transaksi afiliasi, menghindari perpajakan berganda dan pemeriksaan yang lama dan berbiaya tinggi. Dari sisi otoritas pajak, APA mengedepankan pemahaman yang lebih dalam terhadap model bisnis dan informasi WP.

Adapun kekurangannya, jika APA gagal dijalankan, informasi WP yang telah diberikan kepada otoritas pajak dapat digunakan untuk melakukan audit pajak. Selain itu, tidak semua negara mempunyai petugas pajak yang kompeten dan peraturan/ panduan formal untuk menjalankan prosedur APA secara efektif. Biaya yang dikeluarkan juga relatif tinggi dengan prosedur yang cenderung memakan waktu lama.

Lalu, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya itu, apa alternatif yang akan Anda pilih untuk menghadapi sengketa transfer pricing? Cukup dengan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak, MAP, atau melalui APA? Tentu, semua berpulang pada kebutuhan Anda masing-masing.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.