SALAH satu hal yang menarik dari klaster kemudahan berusaha bidang perpajakan UU Cipta Kerja adalah pengecualian objek pajak bagi sisa lebih yang diterima dan ditanamkan kembali lembaga sosial dan keagamaan. Hal ini diatur pada Pasal 4 ayat (3) huruf p UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Pasal 111 UU Cipta Kerja.
Pengecualian dari objek PPh tersebut akan diberikan selama sisa lebih ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan maksimal 4 tahun setelah perolehan sisa lebih. Pengecualian juga diberikan jika sisa lebih ditempatkan sebagai dana abadi.
Jika kita cermati, pengaturan atas pengecualian sisa lebih pada dasarnya bukan hal baru. Pengaturan sejenis telah diberikan kepada badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau litbang. Hal ini dapat ditemui pada Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh yang diatur lebih detail melalui PMK 68/2020.
Pertanyaannya, mengapa perlakuan PPh atas lembaga sosial dan keagamaan serupa dengan lembaga pendidikan dan litbang? Bagaimanakah kita memaknai pengaturan baru tersebut?
Filosofi
UNTUK menjawab hal tersebut, kita perlu meninjau kesamaan karakteristik lembaga sosial dan keagamaan dengan lembaga pendidikan dan litbang. Salah satu petunjuk awal yang bisa dipergunakan adalah sifat lembaga-lembaga tersebut yang umumnya tidak berorientasi laba (nirlaba) atau kerap diistilahkan non-profit organization (NPO).
Banyak literatur mengenai organisasi nirlaba dan aspek pemajakannya (Cowan, 2008; Martin, 2017; McMilan, 2020) yang kerap mengategorikan lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, bantuan sosial, agama, donasi/amal, pengentasan kemiskinan, dan berorientasi bagi publik, sebagai contoh organisasi nirlaba.
Lantas, bagaimana filosofi dari organisasi nirlaba dan kaitannya dengan pajak?
Setidaknya terdapat 2 filosofi organisasi nirlaba yang perlu kita pahami (Gliksberg, 1999). Pertama, tidak diperkenankan untuk membagikan laba yang diperolehnya (the prohibition of profit distribution). Artinya, organisasi nirlaba harus menginvestasikan seluruh labanya untuk aktivitas-aktivitas yang menjadi tujuannya, bukan untuk kepentingan bisnis atau memperkaya para pemiliknya.
Dalam konteks pemajakan atas organisasi nirlaba, istilah laba merujuk pada (excess) surplus (Hassan, 2018) yang dipadankan dengan istilah ‘sisa lebih’. Sisa lebih didefinisikan sebagai penghasilan yang diperoleh setelah pembayaran secara wajar seluruh faktor-faktor produksi dalam menjalankan aktivitas.
Kedua, bertujuan untuk kepentingan publik atau sosial (the publik purpose model). Pendirian organisasi nirlaba dimaksudkan untuk menjalankan fungsi sosial atau memproduksi barang dan jasa publik yang sifatnya tidak memberikan keuntungan secara finansial. Ruang lingkup organisasi tersebut bisa bermacam-macam yang pastinya memberikan manfaat bagi komunitas.
Dalam konteks pajak, untuk memastikan suatu lembaga atau badan memang dikategorikan sebagai organisasi nirlaba, banyak negara menggunakan skema organizational test. Pengujian tersebut membutuhkan dokumentasi yang menunjukkan orientasi organisasi seperti akta pendirian, pengurus, anggaran rumah tangga, dan sebagainya. Hal ini dapat ditemukan misalnya di Pakistan atau Amerika Serikat.
Namun demikian, pengujian tersebut dapat tidak dilakukan selama terdapat suatu instansi pemerintah yang telah melakukan verifikasi dan menaungi bidang organisasi nirlaba. Agaknya model inilah yang dianut Indonesia dengan adanya frasa ‘yang terdaftar pada instansi yang membidanginya’ baik untuk kasus lembaga pendidikan-litbang serta sosial-keagamaan.
Lantas, jika memang lembaga sosial dan keagamaan dianggap sebagai organisasi nirlaba, apa yang menjustifikasi perbedaan perlakuan PPh dengan wajib pajak lainnya?
Setidaknya, terdapat 6 teori yang memperkuat perbedaan perlakuan tersebut. Walau memiliki benang merah yang sama, tiap teori melihat dari sudut pandang yang berbeda.
Sebagai contoh, income measurement theory yang diajukan oleh Bittker dan Rhdert (1976). Keduanya berargumen perbedaan perlakuan pajak harus diberikan bagi organisasi nirlaba karena kesulitan untuk menemukan metode akuntansi komersial yang tepat dalam mengukur maupun mengategorikan penghasilan organisasi nirlaba.
Ada pula capital formation theory yang berkaitan erat dengan filosofi organisasi nirlaba yang tidak mendistribusikan laba dan menumpuk kekayaan. Prinsip tersebut telah menyebabkan kesulitan organisasi nirlaba untuk memperoleh penyertaan modal, pinjaman, serta praktik laba ditahan.
Sementara itu, Atkinson (1990) mengajukan altruism theory. Teori ini berangkat dari argumen organisasi nirlaba tidak hanya berperan dalam menyediakan barang/jasa publik tapi juga mencerminkan nilai-nilai kesukarelaan, kebaikan, dan pluralisme. Oleh karena itu, organisasi nirlaba harus diberikan reward melalui sistem pajak.
Perlakuan Pajak
MENURUT Gliksberg (1999), terdapat 3 model sistem PPh atas organisasi nirlaba yang diimplementasikan di berbagai negara. Pertama, perlakuan PPh bagi penghasilan organisasi nirlaba dipersamakan dengan organisasi yang berorientasi laba (full taxation model).
Model ini berdiri di atas filosofi pemerintah harus mendukung kompetisi yang sehat antarorganisasi, apapun bentuknya. Bahkan, pada dasarnya seluruh organisasi, baik nirlaba maupun laba, sama-sama memberikan manfaat bagi publik. Dengan demikian, tidak dibutuhkan suatu perbedaan perlakuan. Pada model ini, pemerintah dapat dianggap tidak memiliki perhatian bagi pengembangan dan dukungan bagi kegiatan organisasi nirlaba.
Kedua, seluruh penghasilan yang diperoleh oleh organisasi nirlaba dikecualikan dari pengenaan pajak (full exemption model). Model ini merupakan bentuk reward dari pemerintah atas aktivitas organisasi nirlaba dalam kegiatan penyediaan barang/jasa publik serta berperan dalam mengisi keterbatasan fungsi pemerintah.
Namun demikian, model ini bukan tanpa kelemahan. Di antaranya ialah risiko melebarnya tax expenditure karena diberikan secara tidak selektif, pemanfaatan bagi perencanaan pajak yang agresif, hingga penggunaan organisasi nirlaba sebagai sarana pencucian uang.
Ketiga, di antara kedua opsi yang bertolak belakang tersebut, terdapat model partial exemption. Model partial taxation relatif bervariasi. Misalkan, pengecualian objek PPh diberikan hanya atas penghasilan-penghasilan tertentu, yang umumnya berkaitan dengan tujuan usaha organisasi, atas threshold tertentu, dan/atau jenis dan sumber penghasilan. Atas penghasilan yang berada di luar kriteria, akan tetap mengikuti ketentuan PPh yang berlaku secara umum.
Model partial taxation juga dapat berupa pengurangan tarif atau insentif pajak tertentu bagi organisasi nirlaba. Beberapa negara juga mengatur adanya pengecualian seluruh penghasilan tanpa syarat, tapi dengan persyaratan dan kualifikasi organisasi nirlaba yang lebih ketat. Contohnya, melalui suatu operational test dengan menguji secara aktual perilaku keuangan dan pola penghasilan dari organisai nirlaba.
Dari berbagai model di atas, rezim pengaturan pengecualian objek PPh atas sisa lebih lembaga sosial dan keagamaan di Indonesia condong kepada partial taxation. Hal ini terlihat dari persyaratan sisa lebih yang dapat dikecualikan yakni selama ditanamkan dalam sarana dan prasarana sosial dan keagamaan maksimal 4 tahun setelah perolehan atau ditanamkan dalam bentuk dana abadi. Jika sisa lebih tidak memenuhi salah satu dari kedua persyaratan tersebut, akan tetap diperlakukan sebagai objek PPh.
Singkatnya, kehadiran aturan ini dapat dimaknai sebagai dukungan pemerintah bagi lembaga sosial dan keagamaan untuk berkontribusi secara nyata bagi publik sesuai dengan tujuan lembaga dan area yang digelutinya. Selanjutnya, mari kita tunggu ketentuan teknisnya.