ANALISIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pengujian Eksistensi Jasa Intra-Grup

Redaksi DDTCNews
Kamis, 14 Mei 2020 | 16.16 WIB
ddtc-loaderSengketa Pengujian Eksistensi Jasa Intra-Grup
DDTC Consulting

PUTUSAN Mahkamah Agung Nomor 86/B/PK/PJK/2015 (untuk selanjutnya disebut Putusan Mahkamah Agung) merupakan putusan terkait dengan sengketa Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26) atas pembayaran jasa teknik oleh wajib pajak kepada XYZ Co, perusahaan yang merupakan subjek pajak Amerika Serikat.

Kronologi

Wajib pajak merupakan entitas anggota suatu grup usaha yang bergerak dalam industri perhotelan. Dalam rangka menjalankan usahanya, wajib pajak membuat perjanjian jasa teknik dengan XYZ Co selaku pemegang saham wajib pajak.

Berdasarkan perjanjian jasa teknik, XYZ Co akan memberikan jasa teknik terkait dengan usaha wajib pajak. Sebagai imbalan dari manfaat yang diterimanya, wajib pajak membayar jasa teknik kepada XYZ Co.

Menurut wajib pajak, hak untuk memajaki transaksi pembayaran imbalan jasa teknik kepada XYZ Co secara eksklusif diberikan kepada Amerika Serikat dikarenakan tidak terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Ketentuan ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) P3B Indonesia dan Amerika Serikat tentang laba usaha (business profit).

Pada tahun 2010, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan SKPKB PPh Pasal 26 Tahun Pajak 2008 atas imbalan jasa teknik. DJP melakukan rekarakterisasi imbalan jasa teknik menjadi dividen terselubung. DJP tidak meyakini eksistensi transaksi tersebut karena jasa tersebut dinilai bersifat duplikasi dengan jasa yang diberikan oleh pihak afiliasi di Singapura (ABC Pte Ltd). DJP juga meyakini bahwa jasa ini hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan pemegang saham.

Wajib pajak kemudian mengajukan permohonan keberatan pada tahun 2010. Kendati demikian, DJP menolak permohonan keberatan tersebut. Lebih lanjut, wajib pajak mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak. Namun dalam putusannya, Majelis Pengadilan Pajak menolak permohonan banding karena tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan penyerahan (eksistensi) jasa teknik.

Wajib pajak akhirnya mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung. Pada Juni 2015, Majelis Hakim Agung memberikan putusan untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan wajib pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

Wajib pajak tidak menyetujui rekarakterisasi imbalan jasa teknik menjadi dividen terselubung sebagaimana yang disampaikan oleh DJP. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pendapat wajib pajak.

Pertama, Putusan Pengadilan Pajak (Putusan PP) tidak sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf ‘g’ UU PPh tentang dividen tersebung karena tidak terdapat kelebihan pembayaran imbalan jasa teknik kepada pemegang saham.

Pada tahun 2008, wajib pajak mengalami kerugian yang mengakibatkan posisi saldo laba perusahaan negatif. Sesuai dengan Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) bahwa dividen hanya dapat dibagikan apabila perusahaan memiliki saldo laba positif. Oleh sebab itu, wajib pajak tidak dapat membagikan dividen kepada pemegang saham.

Kemudian, wajib pajak telah menyampaikan bukti terkait eksistensi dan manfaat dari jasa teknik. Jasa teknik ini tidak bersifat duplikasi. DJP menganggap bahwa terdapat duplikasi jasa antara jasa yang diberikan oleh XYZ Co dan ABC Pte Ltd. Hal ini didasari dengan ‘kesamaan nama jasa’ dalam perjanjian jasa teknik.

Menurut wajib pajak, terdapat perbedaan signifikan atas kedua jasa teknik tersebut. Jasa teknik yang diberikan oleh XYZ Co berupa asistensi yang bersifat strategis untuk efisiensi pengelolaan hotel secara global. Misalnya, kebijakan brand, image dan control, teknologi, dan kebijakan pengembangan bisnis baru secara global. Di lain pihak, jasa teknik dari ABC Pte Ltd lebih bersifat operasional. Misalnya, kebijakan finansial perusahaan, rencana pengembangan bisnis secara regional, dan pelatihan karyawan.

Sebagai tambahan, jasa teknik juga tidak termasuk jasa yang bertujuan untuk kepentingan pemegang saham karena wajib pajak telah menerima manfaat jasa tersebut dalam rangka memaksimalkan penghasilan perusahaan.

Kedua, Putusan PP tidak memenuhi ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP) yang mengatur bahwa putusan harus diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan, dan keyakinan hakim.

Selama proses persidangan, wajib pajak telah menyampaikan dokumen-dokumen, seperti, perjanjian jasa teknik, perjanjian sublisensi, rekapitulasi pembayaran jasa, bukti tagihan (invoice), rekening koran, general ledger, dan surat keterangan dari auditor independen terkait pemenuhan kewajaran transaksi. Adapun dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak memberikan penjelasan tentang bukti yang tidak disetujui selama persidangan.

Perlu diketahui, bahwa sengketa serupa untuk Tahun Pajak 2003 dan 2006 telah diputus sebelumnya oleh Pengadilan Pajak. Hasil putusan menyatakan bahwa pembayaran imbalan jasa teknik kepada XYZ Co dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto. Perbedaan hasil putusan ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi wajib pajak.

Pertimbangan Mahkamah Agung

Majelis Hakim Agung mengabulkan seluruh permohonan PK yang dilakukan oleh wajib pajak karena Majelis Hakim dapat meyakini kebenaran alasan-alasan yang telah disampaikan.

Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa pembayaran jasa teknik tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dividen terselubung sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Amerika Serikat. Dengan demikian, pendapat Majelis Hakim Agung tersebut menggugurkan berbagai fakta, bukti, dan pertimbangan hukum selama proses persidangan yang diputus oleh Majelis Pengadilan Pajak.

Analisis

Jasa teknik yang diterima oleh wajib pajak termasuk salah satu contoh jasa intra-grup. Hingga saat ini, pengujian eksistensi dan manfaat dari transaksi jasa intra-grup sering menjadi isu pada saat proses pemeriksaan transfer pricing yang pada akhirnya berakhir pada sengketa pajak, tak terkecuali di Indonesia. Terlebih, sengketa perpajakan terkait transfer pricing seringkali lebih bersifat sengketa terkait fakta ketimbang terkait peraturan (Septriadi, 2017).

Terkait dengan kasus ini, dalam memutuskan sengketa a quo, Majelis Hakim Agung tidak menjelaskan secara rinci tentang alasan dikabulkannya permohonan ini. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung menggunakan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Amerika Serikat. Namun demikian, sengketa jasa teknik ini tidak termasuk dalam definisi aturan tersebut. Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Amerika Serikat mengatur tentang branch profit tax apabila terdapat BUT di negara sumber.

Kemudian, Putusan Mahkamah Agung belum ‘menyentuh’ perkara hukum terhadap substansi dari sengketa jasa teknik. Artinya, Putusan PP belum memuat alasan-alasan tentang bukti yang diterima atau ditolak oleh Majelis Hakim Agung.

Apabila Majelis Hakim Agung memutus sengketa dengan alasan Putusan PP belum memuat alasan yang tepat, Putusan Mahkamah Agung setidaknya akan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak tentang bukti yang ditolak atau diterima oleh Majelis Hakim Agung.

Terlepas dari pertimbangan yang telah diberikan dalam putusan, Majelis Hakim Agung sekiranya dapat memberikan beberapa penjelasan sebagai berikut.

Pertama, berdasarkan prinsip substance over form terkait dengan ‘kesamaan nama jasa’ dalam perjanjian jasa teknik antara pemegang saham dan pihak afiliasi, tidak dapat dijadikan acuan bahwa jasa yang diberikan secara substansi bersifat ‘identik’. Majelis Hakim Agung tentunya dapat menjelaskan bahwa suatu kontrak tidak sepatutnya dibaca secara tekstual semata. Oleh karena itu, pemahaman dan penelusuran atas tujuan transaksi yang dilakukan oleh antarentitas grup usaha harus pula menjadi bagian dari penafsiran suatu kontrak (Yuki, 2020).

Kedua, untuk menguji apakah suatu jasa intra-grup yang diberikan secara substansi bersifat ‘identik’, Pengadilan Pajak seharusnya telah meneliti bukti-bukti pendukung untuk meyakini adanya eksistensi jasa bersangkutan (Tulisan selengkapnya dapat dibaca di sini). Dalam hal ini, hakim mempunyai kewajiban untuk mengungkapkan bukti mana yang diterima atau ditolak, penjelasan mengapa bukti tersebut diterima atau ditolak, dan penjelasan bagaimana temuan atas suatu fakta mempengaruhi kesimpulan akhir (Pungkasan dan Jabanto, 2020).

Ketiga, Putusan Mahkamah Agung juga dapat menegaskan bahwa opini dari auditor independen terkait dengan transaksi jasa intra-grup suatu entitas menjadi bagian ‘penting’ dalam pembuktian kewajaran transaksi tersebut (Tulisan selengkapnya dapat dibaca di sini). Artinya, dokumen yang merupakan opini pihak ketiga pun dapat menjadi penguat dari bukti-bukti tentang suatu kewajaran transaksi transfer pricing atas jasa intra-grup (UN TP Manual, 2017).

Keempat, Majelis Hakim Agung mempunyai kesempatan untuk menemukan fakta ada atau tidaknya “ratio decidendi” dalam Putusan PP terdahulu yang dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Agung (Jabanto, 2020). Dengan kata lain, Majelis Hakim Agung dapat menjelaskan bahwa Putusan PP terdahulu (Tahun Pajak 2003 dan 2006) merupakan sengketa fakta ‘murni’ sehingga tidak memiliki relevansi dengan fakta pada perkara ini (Tahun Pajak 2008).

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.