ANALISIS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Analisis Putusan PK atas Sengketa Pengungkapan Ketidakbenaran SPT

Redaksi DDTCNews
Jumat, 24 April 2020 | 21.50 WIB
ddtc-loaderAnalisis Putusan PK atas Sengketa Pengungkapan Ketidakbenaran SPT
DDTC Consulting

DALAM Pasal 8 ayat (1) UU KUP telah diatur bahwa wajib pajak atas kemauannya sendiri dapat melakukan pembetulan SPT yang telah disampaikan sepanjang DJP belum melakukan pemeriksaan. Walaupun tindakan pemeriksaan telah dilakukan oleh DJP, wajib pajak tetap berhak mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT-nya dalam laporan tersendiri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP.

Praktiknya, pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT sering menimbulkan sengketa yang disebabkan adanya tumpang tindih antara beberapa peraturan pajak. Menurut Pasal 8 ayat (4) UU KUP, wajib pajak dapat melakukan pengungkapan ketidakbenaran sepanjang DJP belum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Sementara itu, jika mengacu pada Pasal 8 ayat (1)  PP 74 tahun2011 juncto Pasal 61 ayat (1) PMK-17/2013, pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT hanya dapat dilakukan oleh wajib pajak sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Dalam artikel ini, Penulis akan membahas Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 975/B/PK/PJK/2017. Putusan ini berkaitan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam memutus sengketa pajak terkait pengungkapan ketidakbenaran. Berikut kronologi sengketa pajak tersebut.

Kronologi
DALAM sengketa ini, DJP mendapati wajib pajak tetap mengkompensasi kelebihan pembayaran pajak yang sebelumnya telah dimohonkan untuk dikembalikan (direstitusi). Dalam SPT Masa PPN Desember 2008 dinyatakan terdapat kelebihan pembayaran pajak dan dimintakan pengembalian oleh wajib pajak.

Namun, dalam SPT Masa PPN Januari 2009 diketahui kelebihan pembayaran pajak Desember 2008 tetap diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran Januari 2009. Dengan kata lain, wajib pajak  mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya.

Kesalahan pengisian SPT tersebut baru disadari oleh wajib pajak ketika DJP menyampaikan SPHP. Wajib pajak mengajukan pengungkapan ketidakbenaran tetapi tidak dapat dipertimbangkan oleh Pemeriksa dengan menggunakan dasar hukum Pasal 8 ayat (1) PP 74 tahun 2011. Wajib pajak tidak menyetujui koreksi DJP dengan melakukan upaya administrasi melalui permohonan keberatan dan upaya hukum melalui permohonan banding di Pengadilan Pajak.

Salah satu argumentasi yang disampaikan oleh wajib pajak adalah terkait asas hukum lex superiori derogat lex inferiori. Argumentasi tersebut telah diterima oleh Majelis Hakim tingkat Pengadilan Pajak melalui Putusan Pengadilan Pajak nomor: Put-60553/PP/M.XIIIB/16/2015 tanggal 5 Januari 2015 dan dikuatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 975/B/PK/PJK/2017.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK (DJP) menyatakan keberatan atas Putusan Pengadilan Pajak karena dibuat dengan pertimbangan hukum yang salah. Pemohon PK melakukan koreksi dengan tiga pertimbangan. Pertama, pengungkapan ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak tidak menyebabkan pajak-pajak yang harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil sesuai dengan pasal 8 ayat (4) huruf a UU KUP.

Kedua, pengungkapan ketidakbenaran dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan SPHP sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (1) PP 74/2011. Ketiga, pengungkapan ketidakbenaran yang disampaikan setelah SPHP tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran yang dilandasi oleh kesadaran sendiri wajib pajak. Kesadaran sendiri didefinisikan oleh Pemohon PK sebagai kondisi tidak diperlukan adanya suatu pemberitahuan dari pihak lain untuk melakukan suatu perbuatan.

Wajib pajak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesadaran sendiri adalah suatu kondisi tidak adanya paksaan untuk melakukan suatu perbuatan. Selain itu, merujuk pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, kekuatan hukum dari undang-undang lebih tinggi dari kekuatan hukum peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan di bawah lainnya.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAJELIS Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa pengungkapan ketidakbenaran yang dilakukan wajib pajak berdasarkan kesadaran sendiri dan dapat dilakukan sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak. Selain itu, ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU KUP mengesampingkan ketentuan pasal 8 ayat (1) PP 74/2011.

Dalam putusan PK, Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Pajak adalah sudah tepat dan benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Analisis
HARMONISASI hukum memiliki tujuan untuk meningkatkan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan, dan kesetaraan (L.M. Gandhi, 1988). Dalam konteks hukum pajak, nampak jelas tidak terjadi harmonisasi hukum khususnya berkaitan dengan ketentuan batas waktu pengungkapan ketidakbenaran.

Norma hukum yang dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (1) PP 74/2011 dan Pasal 61 ayat (1) PMK-17/2013 berbeda dengan norma hukum yang sudah dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (4) UU PPh. Jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, akan menimbulkan ketidaksatuan hukum, ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan. Adanya tumpang tindih peraturan turut menentukan derajat kepastian sistem pajak. Lihat tulisan Tumpang Tindih Peraturan Perpajakan.

Terkait persoalan hukum mengenai perbedaan aturan yang menjadi dasar penyampaian laporan Pengungkapan Ketidakbenaran tersebut, wajib pajak telah menegaskan bahwa berdasarkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan atau dikenal dengan asas hukum lex superiori derogat lex inferiori. Artinya, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Oleh karena itu, ketentuan dalam UU KUP yang seharusnya diutamakan dan mengesampingkan ketentuan PP-74/2011. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.