BELUM lama ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan Taxpayers’ Charter atau Piagam Wajib Pajak. Dalam peluncurannya, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa piagam ini merupakan wujud nyata perubahan cara pandang: dari sekadar otoritas pemungut pajak menjadi mitra masyarakat dalam membangun negeri (DDTCNews, 2025).
Pernyataan itu mencerminkan pergeseran paradigma hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak ke arah yang lebih kolaboratif.
Menurut Darussalam (2019), piagam wajib pajak merupakan salah satu bentuk penghargaan atas hak-hak wajib pajak. Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Perdana Menteri India Narendra Modi yang menyebut bahwa piagam wajib pajak sebagai a significant step where the taxpayer is now assured of fair, courteous and rational behavior.
Lantas, dampak seperti apa yang bisa diharapkan dari adanya piagam ini di Indonesia? Mungkinkah taxpayers’ charter menjadi dongkrak moral bagi wajib pajak untuk makin termotivasi mematuhi —dan kemudian membayar— pajak dengan sukarela?
Dalam lanskap global, piagam wajib pajak sebenarnya bukanlah hal baru. Inggris pertama kali memperkenalkannya pada 1986. Bentuk dan sebutan piagam wajib pajak di tiap yurisdiksi pun berbeda-beda.
Kanada, misalnya, menyebut piagam ini sebagai Taxpayer Bill of Rights. Terlepas dari perbedaannya, napas dan ruh dari piagam-piagam ini adalah menyuarakan dan mendokumentasi hak-hak wajib pajak yang harus dipenuhi oleh otoritas.
Cadesky, Hayes, dan Russel (2016) mengartikan taxpayers’ charter sebagai sebuah usaha menyebutkan dengan ringkas hak dan kewajiban wajib pajak yang mana informasinya mudah untuk dipahami dan diakses secara luas.
Di Indonesia sendiri, Taxpayers’ Charter tertuang dalam PER-13/PJ/2025. Dokumen peraturan tersebut berisi hak dan kewajiban wajib pajak Indonesia, masing-masing sebanyak 8 poin. Piagam ini juga bisa dipandang sebagai bentuk komitmen DJP dalam menyediakan pelayanan yang berkeadilan, transparan, dan akuntabel.
Melalui piagam ini, tampaknya DJP mengisyaratkan harapan akan terbentuknya masyarakat pajak yang patuh secara sukarela. Dalam buku Era Baru Hubungan Otoritas Pajak dan Wajib Pajak (Darussalam, Septriadi, Kristiaji, dan Vissaro, 2019) disebutkan bahwa memang idealnya sebuah kebijakan pajak itu berbasis prinsip first-best-policy (kebijakan yang sempurna dari segi efisiensi dan keadilan). Namun, jika kebijakan ideal belum memungkinkan, second-best-policy pun tetap layak dipilih.
Taxpayers’ charter Indonesia bisa dilihat sebagai contoh penerapan prinsip second-best-policy ini. Artinya, taxpayers’ charter dapat dibaca sebagai salah satu bentuk kompromi: belum tentu ideal, tapi mencerminkan itikad baik otoritas untuk memperbaiki relasi dengan wajib pajak secara bertahap.
Terlebih, dalam situasi di mana sejumlah kebijakan seperti coretax system justru sempat dirasa menyulitkan bagi sebagian wajib pajak, kehadiran piagam ini bisa menjadi penyeimbang yang lebih berorientasi pada pendekatan humanis.
Harapan besar tentu kita sematkan pada piagam ini. Tapi, sebelum terlalu jauh, ada baiknya kita belajar dari pengalaman salah satu negara tetangga yang sudah lama mengadopsi taxpayers’ charter, yaitu Australia.
Menurut Unger (2014), taxpayers’ charter yang dilengkapi dengan kode etik mampu memperbaiki ketimpangan relasi kuasa antara Australian Taxation Office (ATO) dan wajib pajak negaranya.
Piagam ini tidak sekadar bersifat simbolik, melainkan menjadi penanda komitmen ATO terhadap pelayanan yang etis dan adil. Dampaknya, moral pajak (tax morale) pun meningkat, seiring dengan naiknya tingkat kepatuhan sukarela.
Senada dengan itu, Bentley (2016) mencatat bahwa dua dekade sejak piagam tersebut dikenalkan, nilai-nilai yang tertanam dalam taxpayers’ charter telah berhasil membentuk budaya internal ATO dan memperkuat hubungan yang lebih stabil dan kolaboratif dengan wajib pajak.
Namun, tidak semua negara mengalami dampak yang sama. Dalam studi oleh Cadesky, Hayes, dan Russel (2016), disebutkan bahwa di beberapa yurisdiksi, taxpayers’ charter justru kurang efektif karena sifatnya yang tidak mengikat secara hukum (not legally binding). Akibatnya, piagam tersebut kerap dianggap sebagai formalitas semata atau bahkan diabaikan oleh wajib pajak.
Dengan mempertimbangkan dinamika tersebut, pertanyaannya kini: apa kira-kira peran konkret taxpayers’ charter untuk wajib pajak Indonesia? Mampukah ia menjadi pendorong moral pajak dan partnership yang lebih setara antara otoritas dan masyarakat?
Pajak adalah multidisiplin ilmu. Dari ilmu psikologi dan pendekatan humanis, kita bisa memahami adanya dimensi moral dalam kepatuhan pajak.
Dalam konteks pajak, moral (tax morale) artinya motivasi intrinsik seseorang untuk mematuhi pajak (Darussalam, 2020). Tax morale sendiri dibutuhkan untuk membangun voluntary compliance di masyarakat.
Lebih jauh, Antinyan dan Asatryan (2025) berpendapat bahwa timbulnya perasaan malu (shame) atau bersalah (guilt) ketika melakukan penggelapan pajak (tax evasion) secara sengaja juga dapat dinilai sebagai bagian dari tax morale.
Penelitian terdahulu di tiga negara di Eropa oleh Torgler dan Schneider (2006) menunjukkan bahwa rasa percaya pada sistem dan jajaran pemerintah menghasilkan dampak positif terhadap tax morale. Butani dan Jha (2021) turut menekankan bahwa negara bisa memperkuat kualitas layanan publik dengan menghadirkan dimensi moral dalam aktivitas membayar pajak.
Dari penjelasan di atas, jika taxpayers’ charter Indonesia dipahami sebagai sebuah upaya membangun kepercayaan dan meningkatkan akuntabilitas otoritas pajak di mata masyarakat, maka, sangat mungkin piagam ini bisa menjadi booster yang efektif dalam meningkatkan tax morale.
Kita bisa melihat piagam ini sebagai wujud nyata dari iktikad baik DJP untuk memperbaiki relasinya dengan wajib pajak. Ketika wajib pajak merasa dihargai dan diperlakukan setara, akan tumbuh rasa memiliki terhadap sistem perpajakan.
Pada titik itu, kita tidak lagi sekadar 'membayar pajak', tetapi bersama-sama membangun kedaulatan negara.
Harapannya, kepercayaan antara DJP dan masyarakat semakin menguat, sehingga tax morale ikut terangkat dan pada akhirnya mendorong tingkat kepatuhan pajak yang lebih tinggi.
Seperti tertuang dalam bagian Pendahuluan Taxpayers’ Charter, kehadiran piagam ini dimaksudkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan dengan menumbuhkan hubungan saling percaya, saling menghormati, dan saling bertanggung jawab antara wajib pajak dan negara. Prinsip-prinsip inilah yang menjadi elemen kunci dalam membangun tax morale di Indonesia.
Jika taxpayers’ charter ini benar-benar dimaknai dan dijalankan secara konsisten oleh kedua belah pihak, baik otoritas maupun wajib pajak, maka dalam jangka panjang bukan tidak mungkin terbentuk relasi pajak yang lebih kolaboratif, bahkan menuju kepatuhan sukarela yang berkelanjutan.
Hadirnya taxpayers’ charter patut diapresiasi sebagai langkah progresif dari DJP. Di tengah tekanan tinggi untuk mengamankan penerimaan negara, kehadiran piagam ini menunjukkan bahwa negara tidak melupakan sisi lain yang tak kalah penting: penghormatan terhadap hak-hak wajib pajak. Inilah bentuk itikad baik dan perhatian yang lebih berimbang dari otoritas pajak.
Lebih dari sekadar dokumen, taxpayers’ charter punya potensi besar untuk menjadi katalis pembentuk masyarakat pajak yang bermoral: masyarakat yang sadar bahwa membayar pajak adalah kontribusi nyata dalam menjaga dan membangun kedaulatan negara.
Namun, agar potensi ini benar-benar terwujud, dibutuhkan keseriusan dari kedua belah pihak. Bagi otoritas, ini berarti komitmen dalam menjalankan prinsip-prinsip piagam secara konsisten. Bagi wajib pajak, ini berarti membuka ruang untuk membangun kepercayaan dan keterlibatan aktif dalam sistem pajak yang adil.
Pada akhirnya, mengilhami taxpayers’ charter adalah tugas bersama. Ia hanya akan bermakna sejauh mana kita mampu memaknainya. Lantas, mari kita maknai piagam ini bukan hanya sebagai janji, tapi sebagai fondasi dari relasi pajak yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. (sap)