ANALISIS PAJAK

Solusi Pajak Mengatasi The Broken Food Systems

Redaksi DDTCNews
Jumat, 23 Agustus 2024 | 10.45 WIB
ddtc-loaderSolusi Pajak Mengatasi The Broken Food Systems

Muhammad Farrel Arkan,

Specialist of DDTC Fiscal Research & Advisory

MAKANAN yang disantap di meja makan kita hari ini melewati proses nan kompleks. Proses tersebut—biasa disebut dengan food systems—mengacu pada jaringan kegiatan produksi, pemrosesan, distribusi, hingga konsumsi (Oxford, 2024). Berbagai jenis makanan, mulai dari nasi hingga daging sapi, melewati jaringan tersebut.

Pada hakikatnya, kegiatan memanen beras hingga memelihara sapi merupakan penyerap karbon (Vermeulen, 2023). Namun, saat ini, adanya lonjakan permintaan pangan—yang didukung dengan keserakahan dan cara destruktif—menciptakan resep sempurna. Suatu resep ‘hidangan lezat’ bernama the broken food systems.

Menurut Center for International Relations and Sustainable Development (CIRSD), terdapat tiga hal yang merusak food systems saat ini. Pertama, sistem saat ini mengubah penggunaan lahan dengan deforestasi serta menggunakan air secara berlebihan.

Kedua, sistem saat ini meningkatkan ketergantungan pada bahan kimia untuk mendukung intensifikasi agrikultur. Ketiga, sistem saat ini bertanggung jawab dalam melepaskan sejumlah besar karbon dan emisi metana.

Food systems yang terus bekerja, bahkan saat pembaca membaca tulisan ini, merupakan pendorong terbesar degradasi lingkungan. Sistem ini menghasilkan 30% dari seluruh emisi gas rumah kaca, menempati 40% permukaan tanah bumi, menggunakan sedikitnya 70% air di bumi, dan merupakan pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati (Clark, 2023).

Para ilmuwan telah sepakat mengenai cara untuk membalikkan keadaan food systems saat ini. Temuan fundamentalnya adalah dengan mengintervensi tiga aspek, yakni diet, limbah makanan, dan agrikultur (Vermeulen, 2023). Instrumen pajak dapat mengorkestrasikan ketiga aspek tersebut ke arah yang lebih baik.

Sisi konsumsi, yaitu diet dan limbah makanan, merupakan hal yang kritikal karena menentukan permintaan penggunaan lahan. Berkenaan dengan kedua hal tersebut,  proposal pajak seperti fat tax dan food waste disposal tax sudah sering disuarakan sebagaimana yang pernah dipublikasikan pada DDTCNews pada 2021 dan 2023.

Sementara dari sisi produksi, yakni agrikultur, juga sama pentingnya. Menurut Vermeulen (2023), ‘jejak lingkungan’ dari produk makanan yang sama dapat berbeda 50 kali lipat atau lebih, tergantung pada praktik agrikulturnya. Dengan begitu, praktik agrikultur yang berkelanjutan menjadi penting untuk dilakukan. Sayangnya, pembahasan mengenai kebijakan pajak yang propraktik agrikultur berkelanjutan masih luput dibicarakan.

Status Quo Kebijakan Pajak

HARGA satu makanan yang tersaji pada konsumen akhir di Indonesia belum mencerminkan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat produksinya. Sebagai contoh, saat ini daging termasuk ke dalam barang kena pajak (BKP) yang dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal, daging menyebabkan kerusakan lingkungan melalui kotoran yang dihasilkan selama produksi ternak dan metana yang dilepaskan (Clark, 2023).

Meskipun merupakan barang kebutuhan pokok, seharusnya dampak lingkungan tetap dipertimbangkan. Sebab, biaya akibat dampak lingkungan tersebut pada akhirnya harus ditanggung kembali oleh masyarakat karena berdampak pada penurunan purchasing power (Lord, 2023). Terlebih kerugian lingkungan, sosial, dan kesehatan dari food systems mencapai US$12 triliun secara global pada 2020 (FAO, 2023).

Selain itu, dibebaskannya PPN atas daging perlu dikritisi jika melihat karakteristik konsumen akhir sesungguhnya. Sebab, masyarakat kalangan atas dapat melakukan konsumsi kebutuhan pokok dengan hanya mengeluarkan sedikit penghasilannya (Darussalam et al., 2024). Akibatnya fenomena pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok memicu regresivitas.

Selain itu, insentif pajak yang digelontorkan pemerintah belum menargetkan keberlanjutan. Sebagai contoh, fasilitas supertax deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) pada fokus pangan tidak mensyaratkan proses pangan yang ramah lingkungan. Shah (1995) menyebutkan insentif pajak yang tidak ditarget secara tepat terbukti inefektif.

Dua Proposal

BAGIAN ini akan menjabarkan dua proposal kebijakan pajak propraktik agrikultur berkelanjutan. Pertama, menginternalisasi dampak iklim dari praktik agrikultur destruktif ke dalam harga makanan. Internalisasi tersebut ditujukan untuk mengungkap biaya lingkungan tersembunyi yang ada di dalam satu makanan.

Internalisasi dapat dilakukan dengan mengenakan PPN terhadap produk makanan yang berdampak lingkungan tinggi, seperti daging. Penyeragaman perlakuan PPN dengan sistem yang sudah ada akan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan membuat suatu sistem pajak baru (Moberg et al., 2021).

Secara khusus, Broeks et al. (2020) menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN atas daging di Belanda memberikan nilai tambah bagi lingkungan hingga sebesar €6,3 juta atau setara dengan Rp103,95 triliun.

Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan juga bahwa menginternalisasi dampak iklim dari produksi pangan melalui peningkatan tarif PPN bukan langkah kebijakan yang hemat biaya. Sebab, hal tersebut mengharuskan emisi dari semua sumber (pangan, energi, hingga transportasi) dikenakan pajak secara merata (Baumol & Oates, 1988).

Terkait dengan hal tersebut, internalisasi dengan pajak karbon dapat menjadi pilihan berikutnya. Penerapan pajak karbon di Swedia akan menjadi pilihan yang lebih hemat biaya (Moberg et al., 2021). Namun demikian, implementasi skema ini di Indonesia dapat menjadi sebuah tantangan karena pajak karbon tidak kunjung terlaksana.

Kedua, mengatur ulang subsidi dan insentif pajak. Hal ini berkaitan dengan proposal sebelumnya yang berpotensi meningkatkan harga makanan. Pemberian subsidi atas makanan yang lebih sehat dapat memberikan pilihan yang lebih murah dan menggeser pola konsumsi.

Selain itu, Laderchi et al. (2024) menganjurkan pencabutan insentif pajak yang diberikan kepada industri skala besar yang merusak—bergantung pada pestisida dan penebangan hutan. Sebaliknya, insentif pajak harus diarahkan kepada petani kecil yang dapat mengubah pertanian menjadi penyerap karbon dengan lebih banyak ruang bagi satwa liar.

Pada akhirnya, diskursus perspektif pajak mengenai usaha perbaikan the broken food systems seyogianya tidak berhenti di sini. Masih banyak ruang kontribusi kebijakan pajak untuk dapat mendorong perbaikan terhadap sistem pangan di Indonesia.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.