PADA beberapa dekade terakhir, telah terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Transisi epidemiologi tersebut terjadi di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang (Krishnamoorthy et al., 2020).
Faktor yang menyebabkan transisi tersebut di antaranya adalah perubahan perilaku, seperti pola makan yang tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik.
Perilaku tersebut dapat memicu terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas yang pada gilirannya dapat menimbulkan penyakit tidak menular (World Health Organization/WHO, 2018).
WHO melaporkan lebih dari 1,9 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami kelebihan berat badan pada 2016. Adapun, masih menurut WHO, 650 juta orang di antaranya mengalami obesitas (WHO, 2018).
Dahulu, obesitas dan kelebihan berat badan memang menjadi isu di negara berpenghasilan tinggi. Dalam perkembangannya, obesitas dan kelebihan berat badan kini juga menjadi masalah umum di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah (Krishnamoorthy et al., 2020).
Guna mengatasi masalah tersebut, salah satu langkah kebijakan yang telah dicoba dan diuji pada oleh banyak negara adalah dengan mengimplementasikan pengenaan pajak lemak (fat tax). Lantas, apa itu pajak lemak atau fat tax?
Secara ringkas, fat tax berarti pajak yang dikenakan terhadap terhadap makanan berlemak atau kandungan lemak makanan (James, 2012). Umumnya, penerapan fat tax bertujuan untuk mencegah pola makan yang tidak sehat dan mengimbangi dampak ekonomi dari obesitas.
Sementara itu, Szucs RS (2014) mengartikan fat tax sebagai biaya tambahan (surcharge) atau pajak yang dikenakan pada makanan atau minuman yang mengandung lemak dalam jumlah tinggi atau pada individu yang kelebihan berat badan.
Sejumlah negara telah mencoba menerapkan pajak pada makanan tertentu untuk menginternalisasi eksternalitas negatif yang berkaitan dengan asupan lemak. Pengenaan pajak dinilai dapat menaikkan harga komoditas yang pada gilirannya membuat turunnya permintaan makanan tidak sehat (Krishnamoorthy et al., 2020).
Negara-negara yang sempat mencoba dan menguji penerapan fat tax di antaranya seperti Denmark dan Hungaria. Denmark merupakan negara pertama di dunia yang memperkenalkan fat tax pada Oktober 2011 (Smed et al., 2016).
Denmark menerapkan fat tax dengan tujuan mengurangi beban penyakit kardiovaskular. Sesuai peraturan, setiap jenis makanan yang mengandung lebih dari 2,3% lemak jenuh akan dikenakan biaya tambahan sebesar 16 krone (US$3) per kilogram (Smed et al., 2012).
Namun, pemerintah mencabut fat tax setelah 1 tahun diterapkan. Hal ini dikarenakan banyak individu yang didapati berupaya menghindari fat tax dengan membeli barang-barang yang dikenakan fat tax di negara lain, seperti Swedia atau Jerman (Smed et al., 2016). (rig)