ISI Pilar 1 Amount A dari Two-Pillar Solution yang digagas oleh OECD/G-20 BEPS Inclusive Framework (BEPS IF) bisa kita anggap sebagai solusi inti (core solution) atas tantangan pemajakan pada era digital.
Tantangan itu dapat ditelusuri dari 2 permasalahan fundamental pajak internasional yang pernah diulas dalam Rencana Aksi 1 Proyek BEPS. Keduanya adalah alokasi hak pemajakan dan alokasi laba yang lebih adil dalam konteks kegiatan ekonomi perusahaan digital lintas yurisdiksi. Rumusan Pilar 1 Amount A berangkat dari suatu konsep relatif sederhana yang dituangkan dalam rumusan formula.
Pertama, hak pemajakan baru bagi yurisdiksi yang berkontribusi besar bagi penjualan sebagai pengembangan dari prinsip significant economic presence. Rumusan konsep hak pemajakan ini dituangkan dalam bentuk threshold nilai penjualan bagi konsumen akhir yang dibedakan antara high-income countries (negara maju) dan bukan.
Kedua, jaminan alokasi laba yang lebih besar bagi yurisdiksi pasar. Hal ini untuk menjamin alokasi pajak yang lebih adil sehingga tidak terkonsentrasi di yurisdiksi tertentu. Konsepsi ini kemudian dituangkan dalam suatu formula, yakni 25% dari residual profit (laba di atas 10%) dialokasikan secara proporsional kepada yurisdiksi pasar yang memperoleh hak pemajakan.
Formula yang ditawarkan kedua elemen tersebut mudah dipahami, menarik, dan sepertinya feasible untuk dilakukan. Apakah benar demikian? Jika tidak, jangan-jangan idiom ‘the devil is in the details’ justru berlaku dan memberikan kerumitan pada saat implementasi Pilar 1 Amount A? Tulisan ini mencoba untuk menjawabnya.
PENERAPAN Pilar 1 Amount A diestimasi memberikan beban kepatuhan (compliance cost) tambahan, baik bagi pihak entitas induk utama (ultimate parent entity/UPE) maupun entitas pada level bawahnya. Beban kepatuhan tambahan ini setidaknya mencakup 3 hal, yakni kompleksitas peraturan, potensi pajak berganda, dan beban administratif baru.
Pertama, kompleksitas peraturan. Kompleksnya aturan tecermin dari jumlah halaman dan pasal dari MLC Pilar 1 Amount A beserta Explanatory Statement-nya, yaitu 850 halaman dan 53 pasal. Itu pun belum termasuk dokumen berjudul Understanding on the Application of Certainty for Amount A of Pillar One dan dokumen-dokumen lainnya yang masih akan dirilis dalam waktu dekat.
Sebagai gambaran, berdasarkan pada ketentuan di dalam MLC Pilar 1 Amount A, setidaknya terdapat 5 langkah yang harus dilakukan oleh wajib pajak dalam penerapan Pilar 1 Amount A. Selanjutnya, dari masing-masing langkah tersebut, terdapat langkah-langkah turunannya yang juga harus dilakukan secara berurutan dan sistematis. Secara total, setidaknya terdapat 15 langkah turunan dari 5 langkah utama dalam menerapkan Pilar 1 Amount A.
Pertanyaannya, seberapa ’menantang’ implementasi masing-masing langkah tersebut? Sebagai ilustrasi, mari kita telaah langkah utama ke-3 dari Pilar 1 Amount A. Langkah ketiga ini mensyaratkan grup perusahaan multinasional untuk menghitung dan mengalokasikan porsi laba sisa (residual/excess profit).
Pada langkah tersebut, wajib pajak grup usaha multinasional harus terlebih dahulu menentukan laba grup yang relevan dengan merujuk berbagai kriteria. Selanjutnya, menghitung dan mengalokasikan bagian excess profit. Terakhir, melakukan penyesuaian jika seumpama ditemukan adanya penghitungan ganda (double counting).
Cuplikan langkah tersebut memberikan bayangan awal mengenai rumit dan kompleksnya ketentuan penerapan Pilar 1 Amount A. Kompleksitas di atas harus dapat dijalankan, baik oleh UPE maupun entitas-entitas pada tingkatan di bawahnya yang tercakup dalam Pilar 1 Amount A (in-scope). Oleh karena itu, grup perusahaan multinasional yang tercakup harus mempersiapkan diri sejak dini.
Kedua, potensi pajak berganda. Potensi pengenaan pajak berganda dapat terjadi karena Pilar 1 Amount A yang merujuk pada konsepsi formula apportionment, hadir di tengah tetap berlakunya ketentuan distribusi laba existing yang merujuk pada arm’s length principle (ALP). Artinya, terdapat benturan secara filosofis yang berdampak pada praktik di lapangan.
Amount A melihat perusahaan multinasional sebagai satu kesatuan ekonomis yang labanya dialokasikan berdasarkan pada suatu formula. Sementara itu, ALP melihat perusahaan multinasional sebagai entitas terpisah sehingga laba yang dianggap adil dilihat dari perbandingannya dengan perusahaan lain yang comparable.
Atas 2 pendekatan tersebut, terdapat kemungkinan perbedaan jawaban mengenai alokasi laba yang dianggap adil. Sebagai contoh, suatu perusahaan PT X dengan fungsi sebagai fully fledge distributor yang beroperasi di negara pasar dapat saja memiliki dua rezim alokasi laba dalam Pilar 1 Amount A.
Berdasarkan pada ALP, PT X dianggap memiliki laba yang wajar senilai Rp20 miliar. Sementara itu, berdasarkan pada formula residual profit, PT X dinilai berhak memperoleh alokasi laba tambahan senilai Rp5 miliar. Permasalahannya, atas Rp5 miliar tersebut bisa jadi menimbulkan pajak berganda karena labanya telah dipajaki di entitas afiliasi yang berada di yurisdiksi lain.
Oleh karena itu, isu pajak berganda selalu menjadi bahasan dalam beberapa konsultasi publik dan progress report atas Pilar 1 Amount A. Dengan dirilisnya dokumen MLC, ketentuan mekanisme pencegahan pajak berganda telah resmi hadir di tengah implementasi Pilar 1 Amount A.
Adanya ketentuan mekanisme eliminasi pajak berganda dalam penerapan Pilar 1 Amount A tentunya berpotensi menjadi tambahan kewajiban yang perlu dilakukan entitas anak di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.
Pasalnya, tata cara eliminasi pajak berganda membutuhkan langkah-langkah seperti penghitungan laba konsolidasi, penyesuaian book-tax-difference, elemen penyusutan, hingga penerapan sistem berjenjang (tier-system) yang akan menentukan jumlah kewajiban tiap yurisdiksi.
Tidak hanya itu, setiap yurisdiksi memiliki fleksibilitas dalam penentuan dasar, pendekatan kuantitatif, serta formula yang digunakan untuk mengeklaim keringanan pajak berganda. Pendekatan ini lebih rumit sekaligus menyimpang dari praktik metode eliminasi pajak berganda yang umum digunakan pada sistem pajak internasional tradisional, seperti metode kredit dan metode pembebasan (Moura dan Padwalkar, 2023).
Ketiga, beban administratif. Beban administratif yang timbul dari penerapan Pilar 1 Amount A berkaitan erat dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran pajak. Berdasarkan pada ketentuan MLC Pilar 1 Amount A, administrasi kepatuhan ini tercakup dalam langkah ke-5 (Part V dari MLC), yakni kewajiban penyampaian, pembayaran, eliminasi pajak berganda, dan akses terhadap kepastian pajak (file, pay, claim relief, and access to tax certainty).
Pemenuhan kewajiban penyampaian (filing) dilakukan melalui 1 SPT (single tax return) dan paket dokumentasi (common documentation package) yang mencakup semua kewajiban pajak terkait dengan Pilar 1 Amount A dari grup perusahaan multinasional di seluruh dunia.
Paket dokumentasi tersebut juga harus menyertakan informasi perhitungan untuk eliminasi pajak berganda. SPT dan paket dokumentasi ini umumnya disampaikan kepada pihak otoritas pajak utama (otoritas pajak yurisdiksi tempat UPE berada). Pihak otoritas pajak utama itu bertanggung jawab untuk membagikan dokumentasi tersebut kepada otoritas pajak yurisdiksi terkait lainnya.
Kemudian, kewajiban pembayaran pajak (payment) atas Pilar 1 Amount A dilakukan secara langsung kepada setiap yurisdiksi pasar oleh entitas yang ditunjuk sebagai pembayar (Designated Payment Entity/DPE). Adapun DPE merupakan entitas tunggal yang memikul kewajiban utama untuk membayar pajak Pilar 1 Amount A atas nama grup perusahaan multinasional (biasanya UPE).
Entitas lokal dapat ditunjuk oleh yurisdiksi pasar untuk bertanggung jawab dalam membayar pajak atas Pilar 1 Amount A. Namun, kondisi ini hanya jika DPE gagal memenuhi kewajiban pembayarannya (kewajiban sekunder).
LINI masa konsensus Pilar 1 Amount A beberapa kali mengalami penyesuaian. Adapun penyesuaian ini merupakan akibat dari masih adanya perbedaan pandangan negara-negara anggota OECD/G-20 BEPS IF untuk mencapai solusi berbasis konsensus tersebut.
Sebut saja yang terbaru adalah pernyataan berjudul Update to Pillar One timeline by the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS. Pernyataan ini memuat komitmen negara-negara anggota IF untuk menyelesaikan naskah MLC Pilar 1 Amount A pada akhir Maret 2024. Selain itu, penandatanganan naskah MLC tersebut diputuskan mundur ke Juni 2024.
Alasan mundurnya time frame tersebut adalah masih adanya perbedaan pandangan dari beberapa negara anggota IF yang masih perlu dibahas pada 2024. Perbedaan pandangan tersebut terutama terkait dengan penghentian pemungutan Digital Services Tax (DST) dan pajak yang sejenis.
Adanya pembaruan kepastian, melalui kesepakatan negara-negara anggota IF untuk menyelesaikan dan menandatangani naskah MLC, dapat dimaknai bahwa penerapan Pilar 1 Amount A tinggal menunggu waktu. Tidak lama lagi, yaitu pada 2025.