MASALAH perpajakan yang dipicu underground economy selalu memiliki reputasi dalam merugikan perekonomian negara. Kekuatannya mampu mencundangi eksistensi hukum perpajakan. Keahliannya memanfaatkan celah dan kekosongan hukum membuatnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sebagai contoh, di Indonesia praktik underground economy sukses menjadi salah satu ‘duri’ yang mengagalkan tercapainya target penerimaan pajak. Pada 2018, penerimaan pajak hanya terealisasi Rp1.315,9 triliun atau 94% dari target keseluruhan.
Sementara itu, praktik underground economy ini sendiri berhasil mencatatkan total pencapaian sebesar kurang lebih Rp1.400 triliun, angka yang dirasa lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan Indonesia untuk satu tahun berjalan.
Berdasarkan pertemuan Eleventh Meeting of The Forum on Tax Administration pada 2017 di Oslo, Norwegia, diketahui besaran praktik underground economy di negara berkembang telah berada di atas 10% hingga 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Adapun di negara maju besaran praktik ini hanya 1%-10% dari PDB. Besaran ini dapat merefleksikan rendahnya tingkat kepatuhan dan belum sempurnanya sistem perekonomian maupun regulasi yang berlaku dalam suatu negara.
Dampak Positif
UNDERGROUND economy, yang juga sering disebut shadow economy/black economy, merupakan kegiatan ekonomi yang tidak tercatat (unreported transaction) pada PDB di suatu negara, yang mencakup kegiatan formal maupun informal.
Kegiatan itu antara lain cash economy, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, money laundering, dan cryptocurrency. Praktik ini berlangsung sejak lama dan masih berlangsung hingga kini. Keunikan praktik ini adalah kemampuannya berevolusi, menyesuaikan, dan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Saat ini, underground economy dengan mudah dilakukan secara lintas batas negara, bahkan ke tempat yang belum tersentuh sisi regulasinya. Kemajuan teknologi juga memungkinkan underground economy berinovasi, misalnya melalui cryptocurrency sebagai contractual money.
Fitur lain dari cryptocurrency adalah bentuk pembayaran ini tidak dirilis oleh bank serta tidak berada dalam pengawasan negara. Tidak heran, transaksi yang menggunakan cryptocurrency sulit terdeteksi dan besar kemungkinan bisa luput dari pengawasan dan pengaturan negara.
Praktik underground economy secara tidak langsung juga dipakai sebagai alat ‘pemaksa’ untuk membenahi regulasi yang menguntungkan wajib pajak. Misalnya program amnesti pajak seperti dilakukan di Indonesia, yang mendorong pengungkapan lebih dari 50% harta berupa aset keuangan.
Program itu membuka kesempatan bagi wajib pajak yang mungkin terlibat dalam underground economy memiliki kemudahan menjadi wajib pajak patuh. Di sisi lain, bagi negara, aset yang selama ini tidak tercatat dalam sistem akhirnya bisa tercatat dan dapat diperluas basis pemajakannya.
Selain itu, praktik underground economy juga memiliki dampak positif yang dapat digunakan sebagai bentuk protes pajak atas kebijakan pemerintah. Misalnya, pengeluaran pemerintah yang dianggap berlebihan serta regulasi yang dianggap tidak perlu dan tidak efisien (Spiro, 2005).
Dampak positif underground economy juga dirasakan perusahaan, dengan struktur biaya lebih rendah dari official economy. Dengan kondisi ini, demand tenaga kerja menjadi lebih besar dan kesejahteraan konsumen meningkat karena harga yang lebih rendah (M.A. Nizar dan K. Purnomo, 2011). Lantas, apakah dengan adanya dampak positif ini, underground economy bisa ditoleransi?
Kerja Sama Global
PEMBIARAN praktik underground economy yang berlarut-larut akan memberikan efek besar bagi keadaan sosial ekonomi suatu negara, seperti mendorong timbulnya rasa ketidakadilan bagi wajib pajak patuh yang dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan wajib pajak terhadap negara, meningkatkan biaya pengeluaran negara, menciptakan kegagalan bisnis, serta pada akhirnya, turut mendukung adanya kegiatan ilegal yang lebih luas (OECD Report, 2017).
Dalam skala global, underground economy telah menjadi salah satu faktor pendorong timbulnya asymmetric information di bidang perpajakan, yaitu suatu keadaan yang menyebabkan otoritas pajak tidak mampu memperoleh laporan dan informasi transaksi dari wajib pajak secara keseluruhan.
Pada umumnya, keadaan ini menjadi celah bagi wajib pajak untuk melakukan perencanaan pajak yang agresif dengan mengalihkan keuntungan mereka ke yurisdiksi pajak yang tarifnya rendah atau di luar pusat keuangan. Akibatnya, terjadilah pengikisan pada sebagian besar basis pajak negara.
Dampak global tersebut akhirnya memaksa negara melakukan transformasi hukum perpajakan secara internasional. Saat ini, seluruh negara sedang berjuang menghilangkan asymmetric information yang mungkin timbul dari underground economy, khususnya transaksi yang dilakukan secara lintas batas.
Mengingat praktik underground economy kini telah menjadi masalah global yang harus dihadapi bersama, adanya kerja sama dan kolaborasi internasional yang efektif dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut.
Peran negara-negara G20 atau organisasi seperti Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) bersama dengan yurisdiksi lain untuk menangani masalah pajak global saat ini telah mendapatkan dukungan dan kredibilitas yang kuat.
Selain itu, peningkatan kepatuhan tidak bisa hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga diperlukan strategi administrasi pajak yang menyeluruh yang dapat mencakup pelayanan perpajakan yang konsisten sehingga dapat menimbulkan trust bagi wajib pajak (M. Pickhardt dan A. Prinz).
Misalnya dengan mendorong penggunaan kartu kredit dan pemberian insentif pajak sebagaimana yang dilakukan di Korea Selatan atau mewajibkan penggunaan cash register untuk para pelaku usaha retail sebagaimana dipraktikan oleh China.
Dengan demikian, para otoritas pajak diharapkan berani dalam melakukan modernisasi administrasi dan kebijakan sehingga dapat mengakomodasi praktik underground economy yang selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman.
Bagi wajib pajak juga diharapkan dapat kembali memupuk rasa kesadaran dan pemahaman akan pajak. Contohnya seperti di Indonesia. Pada hakikatnya, sebagai warga negara Indonesia, setiap rakyatnya hanya memiliki dua kewajiban dasar yang harus dipenuhi.
Salah satunya adalah kewajiban dalam membayar pajak sebagaimana tercantum dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar tahun 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sebagai warga negara yang baik kita dapat menempatkan pajak sesuai dengan kontribusinya demi kepentingan bersama.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.