TIDAK dapat dimungkiri bahwa perkembangan teknologi telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap sektor akuntansi dan keuangan. Munculnya teknologi baru memungkinkan perusahaan melakukan perbaikan dari sisi dokumentasi, manajemen data dan penyimpanan, komunikasi, proses kerja, dan quality control (Hyong, Andrews, dan Kennedy, 2015). Melalui teknologi, proses pencatatan akuntansi dan pengolahan data keuangan yang awalnya manual bisa menjadi serba otomatis dan elektronik.
Perkembangan teknologi di dalam proses bisnis wajib pajak ini tentunya akan menjadi tantangan sekaligus membuka peluang bagi otoritas pajak (Buckler, 2012). Dibutuhkan cara dan pendekatan baru agar teknologi yang berkembang dapat bermanfaat, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Pemeriksaan pajak yang masih menggunakan cara lama, seperti permintaan dan pengecekan dokumen hardcopy, menjadi tidak cocok lagi dengan praktik akuntansi yang ada (Majdanska dan Dziwinski, 2018). Untuk itu, diperlukan adanya alat (tools) pemeriksaan baru yang dapat menjawab tantangan era baru teknologi akuntansi.
Berkaitan dengan hal ini, pada Mei 2005, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyusun tools pemeriksaan yang diharapkan dapat digunakan di era yang serba digital dan otomatis berupa Standard Audit File – Tax (SAF-T).Sebagai informasi, versi 1.0 SAF-T pertama kali dirilis pada tahun 2005 dalam OECD Forum on Tax Administration (FTA). Sementara, versi terbarunya telah diterbitkan pada April 2010 (OECD, 2010).
Struktur SAF-T
SAF-T pada dasarnya adalah file yang terdiri atas data yang dikumpulkan dari sistem akuntansi wajib pajak (Majdanska dan Dziwinski, 2018). Kriteria jenis data yang harus tersedia dalam sistem akan distandardisasi oleh otoritas pajak. Tujuannya, agar terjadi keseragaman dan mempermudah pengolahan data.
Data yang dikumpulkan melalui SAF-T secara umum adalah data akuntansi dan keuangan dari wajib pajak yang nantinya bermanfaat bagi kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pajak. Dalam versi terbaru yang diterbitkan pada April 2010, terdapat setidaknya lima struktur file yang harus ada di dalam SAF-T (OECD, 2010).
Kelima file itu adalah (i) General Ledger: jurnal; (ii) Account receivable: master data pelanggan, faktur penjualan, dan pembayaran; (iii) Account Payable: master data pemasok, faktur penjualan, dan pembayaran; (iv) Fixed Asset: master data aktiva tetap, depresiasi dan revaluasi; dan (v) Inventory: master data persediaan dan inventory movement.
Selain menetapkan struktur file inti yang harus ada di dalam SAF-T, OECD juga merancang jenis format yang nantinya akan dipakai. Hal ini ditujukan agar data-data yang tersimpan dalam kapasitas besar tetap dapat terbaca secara mudah oleh otoritas pajak.
Dalam laporan OECD Mei 2010, format SAF-T yang saat ini ditetapkan adalah dalam bentuk XML atau dapat juga menggunakan format XBRL. Dalam penerapannya nanti, format dari SAF-T dapat disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan data perpajakan.
Tujuan dan Manfaat
Penerapan SAF-T ditujukan untuk memperbaiki proses pemeriksaan agar lebih efektif dan efisien dan diharapkan dapat menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost) dari pelaku bisnis, mengurangi biaya administratif (administrative cost) bagi otoritas pajak, dan menghasilkan hasil pemeriksaan yang lebih transparan dan akurat.
Keuntungan SAF-T dari perspektif otoritas pajak tentunya dapat memperbaiki efisiensi dan efektivitas dari proses pemeriksaan. SAF-T diharapkan dapat menggeser cara-cara pemeriksaan yang awalnya melalui pengecekan manual ke arah yang lebih sistematis dengan mengandalkan keterlibatan tinggi dari wajib pajak (Majdanska dan Dziwinski, 2018). SAF-T juga dapat digunakan untuk mencegah kecurangan pelaporan pajak karena transparannya data dan informasi yang diberikan.
Bagi wajib pajak, SAF-T tentunya akan bermanfaat karena dapat mengurangi compliance cost. Dokumen tertulis yang berlembar-lembar tidak perlu lagi dikumpulkan dari gudang untuk diberikan kepada otoritas pajak karena seluruhnya sudah dapat bentuk elektronik dan digital.
SAF-T juga dapat mengurangi koreksi terkait pembuktian data dan dokumen karena sudah terstandarnya dokumen-dokumen pajak yang diperlukan. Tidak hanya dari sisi kewajiban pajak, SAF-T juga dapat bermanfaat bagi wajib pajak untuk melakukan pengawasan internal terkait bisnis karena adanya integrasi antara data bisnis, akuntansi, dan pajak.
Saat ini, SAF-T sudah diterapkan di enam negara, yaitu Austria, Luksemburg, Portugal, Prancis, Polandia, dan Lituania (Majdanska dan Dziwinski, 2018). Di antara keenam negara tersebut, standar file yang ditetapkan tidaklah sama. Hal ini sangat bergantung pada kebutuhan otoritas pajak dan ketentuan domestik dari masing-masing negara.
Adapun beberapa negara lain di Uni Eropa lebih memilih pendekatan lain yang mampu menghasilkan hasil yang sama. Alasannya, SAF-T dinilai memiliki format yang terlalu rigid sehingga tidak terlalu disukai wajib pajak (Majdanska dan Dziwinski, 2018). Hasilnya, beberapa negara seperti Italia dan Britania Raya memilih untuk mengadopsi Tax Control Framework (TCF).
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah di masa depan proses pengumpulan data dan dokumen untuk kebutuhan pemeriksaan dapat menerapkan SAF-T sebagaimana yang dicetuskan oleh OECD? Untuk menjawab hal ini diperlukan kajian yang lebih lanjut secara meluas, komprehensif, dan mendalam.
Walau demikian, nota kesepahaman antara Ditjen Pajak dan Bursa Efek Indonesia yang ditandatangani 25 Januari lalu sedikit banyak merefleksikan semangat dari SAF-T, yakni pilot project penyampaian laporan keuangan berbasis XBRL oleh 33 BUMN yang melantai di bursa.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.