LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Pilih Kebijakan Pajak Jokowi atau Prabowo?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 10 Januari 2019 | 14.15 WIB
ddtc-loaderPilih Kebijakan Pajak Jokowi atau Prabowo?
Ardian,
Fakultas Teknik Universitas Bangka Belitung

PAJAK memiliki peranan penting untuk dibicarakan, Apalagi di tahun politik 2019 ini, setiap calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) memiliki kebijakan yang berbeda. Tentunya persoalan pajak yang harus dipahami secara mendalam

Lalu bagaimanakah sistem pajak yang baik? Adam Smith menyebutkan beberapa kriteria sistem pajak yang baik, yaitu distribusi dari beban pajak harus adil, di mana setiap orang harus membayar sesuai dengan bagiannya yang wajar.

Lalu struktur pajak harus mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, sistem pajak harus dimengerti wajib pajak, administrasi dan biaya pelaksanaan haruslah sedikit mungkin, ada kepastian, dan dapat dilaksanakan serta dapat diterima.

Lalu bagaimana dengan sistem kebijakan pajak yang diinginkan pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno?

Pasangan Jokowi-Ma’ruf lebih mengedepankan kelanjutan program reformasi perpajakan untuk meningkatkan efisiensi, kemudahan berusaha dan menciptakan level of playing field yang berkeadilan.

Caranya, pertama, melanjutkan reformasi kebijakan fiskal untuk menghadirkan APBN yang sehat, adil, dan mandiri, serta mendukung peningkatan kesejahteraan, penurunan tingkat kesenjangan, dan peningkatan produktivitas rakyat.

Kedua, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.

Ketiga, mengoptimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dengan sistem yang terintegrasi serta tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel. Keempat, memperkuat sinergi tiga pilar, berupa kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil guna memperbaiki ketersediaan sumber pembiayaan, menurunkan tingkat bunga, sekaligus mendorong produksi nasional.

Adapun, pasangan Prabowo-Sandi lebih mengedepankan kebijakan fiskal yang bertujuan menjadi stimulus kepada perekonomian rakyat. Caranya, pertama, meningkatkan daya beli masyarakat dengan menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

Kedua, memperbaiki tata kelola utang pemerintah dengan menggunakan hanya untuk sektor-sektor produktif yang berdampak langsung terhadap perbaikan kesejahteraan rakyat, serta menghentikan praktek berutang yang tidak sehat dan tidak produktif. Ketiga, menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat.

Keempat, melakukan reformasi birokrasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga. Kelima, meningkatkan porsi transfer ke daerah untuk pembangunan dan pemeliharaan  fasilitas publik di provinsi, kabupaten/kota, sampai ke desa.

Apakah dengan program pajak itu setiap capres dapat membangun Indonesia secara lebih baik? Harus diakui, akan konsistensi reformasi kebijakan yang dijalankan oleh Jokowi patut diapresiasi. Ada beberapa poin yang bisa menjadi acuan pencapaian di bidang perpajakan selama 3 tahun terakhir.

Misalnya, implementasi dan pencapaian program amnesti pajak 2016-2017 sebagai jalan keluar dari kebuntuan akibat beban pajak yang tinggi. Di samping itu, upaya penguatan reformasi bea dan cukai agar institusi lebih berintegritas, kompeten, dan mampu menjalankan tugas dengan lebih baik.

Namun, langkah-langkah reformasi yang dipetakan selama ini masih ada yang belum membuahkan hasil. Misalnya, revisi undang-undang perpajakan, otonomi Ditjen Pajak, integrasi penerimaan negara bukan pajak, peta jalan perbaikan teknologi informasi, hingga optimalisasi penerimaan pajak.

Kemudian, dari kubu Prabowo-Sandi, harus diakui pula bahwa pada era kepemimpinan Jokowi rezim pajak yang ada dianggap terlalu memberatkan, dan tidak kompetitif jika dibandingkan tarif yang dikenakan di negara lain.

Permasalahan utama saat ini yang dihadapi pemerintah adalah persoalan tingkat kepatuhan para pembayar pajak dan tax ratio yang masih rendah. Tax ratio merupakan formula kinerja perpajakan dengan membandingkan penerimaan pajak dari produk domestik bruto dalam waktu tertentu. Pada 2015, tax ratio Indonesia berada pada 11,6%, pada 2016 turun menjadi 10,8%, dan pada 2017 stagnan 10,7%.

Prabowo-Sandi berjanji akan menurunkan tarif pajak badan Indonesia, minimal setara dengan Singapura agar Indonesia bisa kompetitif. Saat ini, tarif PPh badan Indonesia mencapai 25%, lebih tinggi dari tarif pajak yang dikenakan di negara lain seperti Singapura 17%.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.