Ilustrasi. Gedung Kementerian Keuangan.
JAKARTA, DDTCNews - Kehadiran pajak minimum global Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) membuka ruang bagi pemerintah untuk mengevaluasi rezim PPh final yang berlaku dalam sistem perpajakan Indonesia selama ini.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Wahyu Hidayat mencontohkan PPh final atas jasa konstruksi sebesar 1,75% - 6% berpotensi terdampak Pilar 2 jika setelah dihitung ulang ditemukan pajak efektif yang ditanggung perusahaan jasa konstruksi berada di bawah 15%.
"Sangat dimungkinkan setelah dihitung ulang menggunakan tarif umum ternyata ini kurang dari 15%. Ada kemungkinan itu. Ada potensi ke sana," katanya, dikutip pada Rabu (25/10/2023).
Selain PPh final jasa konstruksi, kebijakan Pilar 2 juga berisiko berdampak terhadap PPh final atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan, PPh final atas sewa, dan PPh final lainnya yang berlaku atas beragam jenis penghasilan.
"Penerapan Pilar 2 ini menjadi momentum yang bagus. Jangan anggap Pilar 2 ini sebagai ancaman, tetapi ke arah bagaimana ini adalah kesempatan emas untuk kita mereformasi perpajakan kita," ujar Wahyu.
Namun, perlu diingat, apabila wajib pajak pembayar PPh final tidak termasuk dalam cakupan Pilar 2 maka wajib pajak tersebut tidak berisiko dikenai top-up tax meski tarif pajak efektif yang ditanggung tak mencapai 15%.
Untuk diperhatikan, wajib pajak yang tercakup dalam Pilar 2 adalah yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan pendapatan global lebih dari €750 juta per tahun.
Sebagai informasi, Indonesia berencana untuk menerapkan income inclusion rule (IIR) dan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) mulai tahun depan. Sementara itu, undertaxed payment rule (UTPR) bakal diterapkan mulai 2025.
Dengan adanya IIR, Indonesia berwenang untuk mengenakan top-up tax terhadap ultimate parent entity (UPE) perusahaan multinasional yang berdomisili di Indonesia dalam hal perusahaan tersebut memiliki anak usaha di yurisdiksi lain yang dibebani pajak dengan tarif efektif di bawah 15%.
QDMTT bakal menjadi landasan untuk menerapkan pajak minimum domestik. Dengan QDMTT, Indonesia dapat mengenakan top-up tax atas anak usaha perusahaan multinasional di Indonesia dalam hal laba anak usaha tersebut dikenai pajak dengan tarif efektif di bawah 15%. (rig)