Tampilan depan Bab 2 Indonesia Taxation Quarterly Report (Q2-2020) bertajuk Tax Revenue Prospect during Economic Recovery.
JAKARTA, DDTCNews – Fokus terhadap pemulihan kinerja fiskal relatif minim di tengah seluruh perhatian tertuju pada upaya untuk meningkatkan laju perekonomian. Padahal, kinerja pajak merupakan sumber utama negara dalam mendanai stimulus fiskal.
Apalagi, dalam jangka panjang, prospek pemulihan ekonomi akan sangat bergantung pada kapasitas fiskal. Tanpa hal tersebut, sulit bagi perekonomian suatu negara untuk melampaui produktivitas sebelum terjadinya krisis.
Hal ini disampaikan oleh DDTC Fiscal Research dalam Indonesia Taxation Quarterly Report (Q2-2020) bertajuk Tax Revenue Prospect during Economic Recovery yang telah dirilis pada Selasa (2/9/2020). Download laporan tersebut di sini.
Hingga saat ini, pemerintah masih gencar memberikan insentif pajak sebagai salah satu respons dalam upaya pemulihan ekonomi dengan total pagu anggaran sebesar Rp120,61 triliun pada 2020. Hal ini bisa dipahami karena kinerja ekonomi masih lesu dan belum ada jaminan waktu produktivitas tersebut akan segera membaik.
Pemerintah optimistis respons kebijakan yang dilakukan secara perlahan dapat mengoreksi positif kinerja pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan proyeksinya sebesar 4,5%-5,5% pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021.
Kendati demikian, masih terdapat tanda tanya besar bagi keberlanjutan fiskal Indonesia dalam jangka panjang. Pasalnya, tidak ada jaminan kinerja pajak akan bergerak sejalan dengan pemulihan ekonomi.
“Keberlanjutan fiskal Indonesia semakin berada di bawah tekanan akibat besarnya defisit negara serta elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi,” demikian pernyataan DDTC Fiscal Research dalam laporan tersebut.
Berdasarkan pengalaman dua krisis besar pada masa lalu, seperti yang diulas dalam laporan ini, penerimaan pajak cenderung turun lebih cepat tapi pulih jauh lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi.
Setelah kembali tumbuh positif, rasio pajak belum tentu dapat kembali titik semula sebelum periode krisis. Untuk mencegah hal tersebut, arah dan tujuan kebijakan bagi prospek penerimaan pajak di masa depan menjadi isu yang krusial.
Di satu sisi, pemerintah perlu memberikan insentif pajak dalam mendukung pemulihan ekonomi dan mempertahankan basis pajak. Di sisi lain, hal ini juga terkait dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak untuk membiayai belanja yang lebih tinggi.
“Kecepatan dan kekuatan pemulihan penerimaan pajak pada akhirnya akan bergantung pada kemampuan basis pajak untuk menjaga keberlanjutan fiskal,” imbuh DDTC Fiscal Research.
Laporan ini kemudian mengidentifikasi beberapa catatan kebijakan kedepan untuk menyeimbangkan antara kedua tujuan tersebut. Catatan ini juga dapat menjadi alternatif terhadap permasalahan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap jenis pajak dan sektor tertentu yang berpotensi membuat krisis semakin parah.
Beberapa proposal yang tengah berkembang di berbagai negara pada saat ini mencakup pajak kekayaan, pajak digital, dan perluasan basis PPN.
Ulasan ini dilakukan sebagai bentuk komitmen DDTC Fiscal Research dalam menjalankan salah satu misi DDTC, yaitu mengeliminasi asimetri informasi perpajakan untuk masyarakat perpajakan Indonesia.*