Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji dalam seminar Perkembangan Pajak Domestik dan Global Terkini di FEB Usakti.
JAKARTA, DDTCNews - Lanskap perpajakan domestik dan global telah mengalami perubahan sejalan dengan upaya berbagai negara melakukan reformasi pajak selama pandemi Covid-19. Reformasi pajak tersebut, salah satunya, didorong oleh upaya masing-masing negara untuk mengamankan penerimaannya.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pandemi memang menjadi pukulan telak bagi seluruh negara di dunia yang menggerus penerimaan pajak. Momentum tersebut kemudian dimanfaatkan banyak negara untuk melakukan reformasi agar penerimaan pajaknya mampu tumbuh secara berkelanjutan.
"Biasanya krisis memang menjadi katalis tax reform. Demikian pula yang terjadi di Indonesia dan banyak negara karena kita harus segera recover, daya saing ditingkatkan, dan penerimaan ditingkatkan," katanya dalam seminar Perkembangan Pajak Domestik dan Global Terkini di FEB Usakti, Sabtu (4/3/2023).
Kendati pandemi memberikan tekanan yang cukup berat, Indonesia terbukti cukup tangguh dan sanggup pulih lebih cepat ketimbang negara-negara lain, bahkan anggota OECD. Indonesia mencatatkan pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 19,2% pada 2021. Pada periode yang sama, negara-negara OECD 'hanya' mampu tumbuh 12,8%.
Kondisi serupa juga terjadi pada pertumbuhan tax ratio. Indonesia mencatatkan kenaikan sebesar 0,8% pada 2021, sedangkan negara OECD bertumbuh 0,6%.
Namun, masih ada catatan penting bagi Indonesia di tengah capaian positif di atas. Jika dilihat di lingkup Asia Pasifik, kinerja tax ratio dan tax effort Indonesia masih relatif rendah. Merespons kondisi ini, optimalnya reformasi pajak diyakini menjadi jawaban untuk menyelesaikan persoalan fundamental soal tax ratio yang masih rendah.
Reformasi yang dijalankan di Indonesia di antaranya dengan diterbitkannya UU tentang 11/2020 Cipta Kerja dan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Reformasi pajak yang kini tengah berjalan juga diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan berdasarkan jenis pajaknya. Sejauh ini, kontribusi penerimaan pajak per jenis pajak secara historis di Indonesia selalu didominasi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri dan PPN impor. Keduanya bertengger di peringkat 1 dan 3. Apabila ditotal, kontribusi PPN dalam negeri dan PPN impor terhadap penerimaan pajak pada 2021 mencapai 41,8%.
Selanjutnya, pajak penghasilan (PPh) juga perlu dioptimalkan agar makin proporsional. Pada PPh orang pribadi, kontribusi penerimaan PPh Pasal 21 karyawan sudah mencapai 11,7%, tetapi PPh Pasal 25/29 orang pribadi hanya 1%.
"Integrasi NIK sebagai NPWP yang diharapkan dapat menjadi jawaban dari persoalan ini," ujarnya.
Kemudian, pada PPh badan, Bawono mengungkapkan kontribusinya terhadap penerimaan pajak Indonesia tercatat sebesar 19,9%. Jenis pajak ini juga tetap perlu didorong di tengah isu penghindaran pajak.
Reformasi juga perlu menyentuh kebijakan insentif pajak. Selama ini Indonesia menjadi salah satu negara yang menawarkan berbagai insentif pajak untuk menarik investasi. Insentif pajak tersebut tergolong lengkap, mencakup pengurangan tarif, tax holiday, tax allowance, serta supertax deduction. Sejalan dengan konsensus awal mengenai pajak minimum global, investor akan dikenakan tarif 15% di manapun menanamkan modalnya.
Kendati insentif sudah diberikan melalui beragam menu, pemerintah perlu meninjau ulang efektivitas dari setiap kemudahan yang diberikan bagi investor.
FEB Universitas Trisakti mengadakan kuliah umum dengan tema Perkembangan Pajak Domestik dan Global Terkini. Kuliah umum tersebut diselenggarakan bersama dengan penandatanganan memorandum of agreement (MoA) kerja sama pendidikan pajak antara FEB Universitas Trisakti dan DDTC. (sap)