ROUND-UP FOKUS

Pajak untuk Lingkungan dan Penerimaan

Redaksi DDTCNews | Rabu, 26 Mei 2021 | 10:01 WIB
Pajak untuk Lingkungan dan Penerimaan

Kompleks PLTU Paiton di Kabupaten Probolinggo dan Situbondo, Jawa Timur. Bisnis pembangkit listrik adalah salah satu sektor yang terkena dampak penerapan pajak karbon, (Foto: ANTARA/PT Pembangkitan Jawa-Bali)

REALISASI penerimaan pajak hingga akhir April 2021 ternyata masih terkontraksi 0,5%. Memang sudah lebih baik dari posisi akhir Maret 2021 yang minus 5,6% atau periode yang sama tahun sebelumnya minus 3,1%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kontraksi penerimaan pajak itu merupakan dampak berlanjutnya perlemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19. “Penerimaan pajak masih terkontraksi. Namun, penerimaannya sudah lebih baik,” katanya di Jakarta, Selasa (25/5/2021).

Kurang dari sepekan sebelumnya, sesuai dengan siklus anggaran, Menkeu menyerahkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2022 ke DPR. Dalam dokumen itulah terungkap rencana kebijakan pajak tahun depan, salah satunya pengenaan pajak karbon.

Baca Juga:
Singapura Resmi Naikkan Tarif Pajak Karbon sekitar Rp296.000 per Ton

Pajak ini akan dikenakan untuk meningkatkan penerimaan negara, mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan investasi ramah lingkungan dan mendukung kesejahteraan warga miskin. Namun, pajak karbon berisiko menimbulkan biaya sehingga pengenaannya harus dipertimbangkan matang.

“Perlu dipertimbangkan pengenaan pada sisi permintaan yang lebih preferable ketimbang sisi penawaran. Kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat juga dapat mengurangi resistensi dan dampak yang tidak diharapkan,” ungkap dokumen tersebut.

Regulasi pajak di Indonesia hingga kini belum mengenal istilah pajak karbon. Untuk itu, pemerintah memiliki 2 alternatif, mengenakan pajak karbon melalui instrumen yang ada seperti cukai, PPh, PPN, PPnBM, atau PNBP, atau mengenakan pajak karbon melalui instrumen yang benar-benar baru.

Baca Juga:
Pemerintah Dorong Penerapan Carbon Capture Storage, Insentif Disiapkan

Ternyata pilihan pemerintah atas alternatif ini sudah dijawab sehari sebelumnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah memasukkan materi pajak karbon dalam draf RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) ke DPR.

“Di dalamnya termasuk terkait dengan carbon tax atau pajak karbon,” katanya tanpa memberi penjelasan lebih detil mengenai poin-poin baru dalam RUU KUP tersebut, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/5/2021).

Airlangga menjelaskan Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat kepada DPR mengenai usulan draf RUU KUP itu. Artinya, surat ini merevisi surat presiden (surpres) sebelumnya yang mengantarkan RUU KUP versi lama ke DPR, yaitu pada 4 Mei 2016.

Baca Juga:
Istana Ungkap Dekarbonisasi Beri Manfaat Ekonomi Rp 7.000 Triliun

Sesuai dengan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2022, pembahasan RUU KUP harus rampung tahun ini. Tujuannya agar semua perubahan aspek formal sistem perpajakan Indonesia, termasuk diperkenalkannya pajak karbon, berlaku awal tahun pajak 1 Januari 2022.

Menurut Menkeu Sri Mulyani, pengenaan pajak karbon ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan yang dimulai pada 2017, yaitu perbaikan kebijakan perpajakan. Perbaikan ini diarahkan untuk memperluas basis pajak dan mencari sumber baru penerimaan.

Caranya antara lain menyempurnakan pemungutan dan mengurangi regresivitas PPN dan memperkuat kebijakan PPh orang pribadi. “Serta potensi pengenalan jenis pungutan baru, khususnya terkait dengan pajak karbon yang berhubungan dengan eksternalitas terhadap lingkungan,” ujarnya.

Baca Juga:
Tertunda Terus, Pemerintah Diimbau Segera Terapkan Pajak Karbon

Reward & Punishment
PAJAK karbon ini juga selaras dengan UU No. 16 Tahun 2016 yang menargetkan penurunan gas rumah kaca 29% dari upaya sendiri dan 41% dari bantuan internasional pada 2030. Pemenuhan target ini akan mendorong penggunaan seluruh instrumen kebijakan, salah satunya perpajakan.

Lalu bagaimana dengan industri atau sektor usaha terkait? Inilah yang belum banyak bicara. Sekjen Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono menyambut baik adanya rencana pajak karbon pada 2022. Namun, ia berharap ada reward dan punishment yang jelas.

“Kita harus dorong industri yang masih mengeluarkan emisi batu bara beralih ke yang rendah emisi. Tapi yang emisi rendah itu harus low-cost. Kalau enggak bisa low cost ya ada insentif. Kan nanti jatuhnya ke daya saing,” katanya, Minggu (23/5/2021).

Baca Juga:
Thomas Lembong Sebut Pajak Karbon Bisa Ciptakan Keadilan

Fajar mengatakan sektor petrokimia termasuk industri yang ramah emisi karbon. Ia berharap pemerintah konsisten menyediakan energi alternatif pengurangan emisi. Misalnya gas seharga US$6 per mmbtu. “Kalau gas US$6 ini belum tuntas ya lama dicapainya,” katanya seperti dilansir Kontan.

Lalu bagaimana dengan industri maskapai, listrik atau batu bara? Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Pandu Sjahrir mengatakan pelaku usaha baru bara tidak menutup mata bahwa industrinya menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca cukup besar.

“Per hari ini, total emisi CO2 Indonesia sekitar 1,26 giga ton karbon. Dari sisi itu, sepertiganya dari pembangkit listrik batu bara dan pertambangan. Karena itu, kami menyiapkan upaya untuk menekan emisi dalam rangka netral karbon 2050,” katanya dalam satu webinar, Rabu (5/5/2021).

Jika pemerintah bisa meyakinkan para pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha ini, tentu perjalanan pajak karbon ini akan mulus tanpa kendala. Ada banyak manfaat dari pajak karbon, itu jelas. Namun, ada yang dirugikan, itu juga jelas. Tinggal bagaimana mengompromikannya. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

26 Mei 2021 | 22:04 WIB

Pengenaan carbon tax pada saat ini memang memiliki urgensi yang cukup penting mengingat kondisi bumi yang semakin hari semakin tidak membaik tanpa disadari. Kebijakan ini sangat membantu sebagai langkah untuk brerpartisipasi dalam kegiatan menyelamatkan bumi agar tetap bisa menjadi tempat yang layak huni bagi generasi di masa depan.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 15 Februari 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN ENERGI

Pemerintah Dorong Penerapan Carbon Capture Storage, Insentif Disiapkan

Senin, 05 Februari 2024 | 14:00 WIB KEBIJAKAN LINGKUNGAN

Istana Ungkap Dekarbonisasi Beri Manfaat Ekonomi Rp 7.000 Triliun

Senin, 29 Januari 2024 | 13:51 WIB PAJAK KARBON

Tertunda Terus, Pemerintah Diimbau Segera Terapkan Pajak Karbon

BERITA PILIHAN
Sabtu, 20 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Faktor-Faktor yang Menentukan Postur APBN Indonesia

Sabtu, 20 April 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jasa Konstruksi Bangunan bagi Korban Bencana Bebas PPN, Ini Aturannya

Sabtu, 20 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Jaga Kesinambungan Fiskal 2025, Pemerintah Waspadai Tiga Hal Ini

Sabtu, 20 April 2024 | 09:00 WIB KABUPATEN SUKABUMI

Ada Hadiah Umrah untuk WP Patuh, Jenis Pajaknya akan Diperluas

Sabtu, 20 April 2024 | 08:47 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

SPT yang Berstatus Rugi Bisa Berujung Pemeriksaan oleh Kantor Pajak

Sabtu, 20 April 2024 | 08:30 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Dorong Pertumbuhan Ekonomi 2025, Insentif Ini Disiapkan untuk Investor

Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan