KEBIJAKAN PAJAK

Pajak Minimum Global Ternyata Bisa Pengaruhi Penerimaan Pajak 2023

Muhamad Wildan | Rabu, 17 Agustus 2022 | 13:00 WIB
Pajak Minimum Global Ternyata Bisa Pengaruhi Penerimaan Pajak 2023

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memandang pajak korporasi minimum global Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) memiliki dampak terhadap pencapaian target penerimaan perpajakan pada tahun depan.

Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2023, pemerintah menjelaskan konsensus perpajakan global dapat memberikan dampak terhadap iklim investasi dan kompetisi penurunan tarif perpajakan antaryurisdiksi.

"Tarif pajak korporasi besar sebesar 15% akan memengaruhi peta kompetisi penurunan tarif pajak global dan iklim investasi antarnegara. Pada akhirnya akan memengaruhi penerimaan perpajakan," sebut pemerintah, dikutip pada Rabu (17/8/2022).

Baca Juga:
Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Ketentuan dalam Pilar 2 OECD mengatur mengenai korporasi multinasional dengan penerimaan di atas EUR750 juta per tahun wajib membayar pajak dengan tarif minimum sebesar 15% di manapun perusahaan beroperasi.

Bila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tak mencapai 15%, top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan income inclusion rule (IIR).

Indonesia termasuk salah satu negara Inclusive Framework yang turut menyetujui Pilar 2 dan juga Pilar 1: Unified Approach pada Oktober 2021.

Baca Juga:
Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Negara-negara anggota Inclusive Framework menyepakati Pilar 2 berlaku sebagai common approach sejak 2023. Untuk mengadopsi pajak korporasi minimum global sesuai dengan Pilar 2, yurisdiksi perlu melakukan penyesuaian atas ketentuan perpajakan domestiknya masing-masing.

UU 7/2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga telah memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengadopsi pajak minimum global.

Melalui Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah diberi kewenangan untuk membentuk ataupun melaksanakan perjanjian di bidang perpajakan baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka penghindaran pajak berganda, BEPS, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, atau kerja sama perpajakan lainnya. (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 17 Mei 2024 | 20:35 WIB HUT KE-17 DDTC

Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Beralih Pakai Tarif PPN Umum, PKP BHPT Harus Beri Tahu KPP Dahulu

BERITA PILIHAN
Jumat, 17 Mei 2024 | 20:35 WIB HUT KE-17 DDTC

Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:51 WIB UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

KAFEB UNS, Wadah Alumni Berkontribusi untuk Kampus dan Indonesia

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Beralih Pakai Tarif PPN Umum, PKP BHPT Harus Beri Tahu KPP Dahulu

Jumat, 17 Mei 2024 | 17:30 WIB SEJARAH PAJAK INDONESIA

Mengenal Pajak Usaha yang Dikenakan ke Pedagang di Era Mataram Kuno

Jumat, 17 Mei 2024 | 17:00 WIB KAMUS CUKAI

Apa Itu Dokumen CK-1 dalam Konteks Percukaian?

Jumat, 17 Mei 2024 | 16:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran Pajak Kripto Tembus Rp689 Miliar dalam 2 Tahun Terakhir