Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memandang pajak korporasi minimum global Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) memiliki dampak terhadap pencapaian target penerimaan perpajakan pada tahun depan.
Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2023, pemerintah menjelaskan konsensus perpajakan global dapat memberikan dampak terhadap iklim investasi dan kompetisi penurunan tarif perpajakan antaryurisdiksi.
"Tarif pajak korporasi besar sebesar 15% akan memengaruhi peta kompetisi penurunan tarif pajak global dan iklim investasi antarnegara. Pada akhirnya akan memengaruhi penerimaan perpajakan," sebut pemerintah, dikutip pada Rabu (17/8/2022).
Ketentuan dalam Pilar 2 OECD mengatur mengenai korporasi multinasional dengan penerimaan di atas EUR750 juta per tahun wajib membayar pajak dengan tarif minimum sebesar 15% di manapun perusahaan beroperasi.
Bila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tak mencapai 15%, top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Indonesia termasuk salah satu negara Inclusive Framework yang turut menyetujui Pilar 2 dan juga Pilar 1: Unified Approach pada Oktober 2021.
Negara-negara anggota Inclusive Framework menyepakati Pilar 2 berlaku sebagai common approach sejak 2023. Untuk mengadopsi pajak korporasi minimum global sesuai dengan Pilar 2, yurisdiksi perlu melakukan penyesuaian atas ketentuan perpajakan domestiknya masing-masing.
UU 7/2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga telah memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengadopsi pajak minimum global.
Melalui Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah diberi kewenangan untuk membentuk ataupun melaksanakan perjanjian di bidang perpajakan baik secara bilateral maupun multilateral dalam rangka penghindaran pajak berganda, BEPS, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, atau kerja sama perpajakan lainnya. (rig)