Managing Partner DDTC Darussalam dalam acara Economic Challenges Metro TV, Selasa (14/9/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Agenda revisi RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dinilai sebagai momentum untuk melakukan perbaikan terhadap masalah fundamental perpajakan di Indonesia.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan terdapat beberapa masalah fundamental dalam pelaksanaan kebijakan perpajakan di antaranya tingkat rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang masih tergolong rendah di Asia Pasifik.
"Tax ratio Indonesia nomor 3 terbawah di Asia Pasifik di atas Bhutan dan Laos," katanya dalam acara Economic Challenges Metro TV, Selasa (14/9/2021).
Selanjutnya, indikator elastisitas penerimaan pajak terhadap kondisi ekonomi atau tax buoyancy yang masih di bawah 1%. Tax buoyancy Indonesia berada pada angka 0,83%. Artinya, 1% pertumbuhan PDB hanya bisa menciptakan pertumbuhan penerimaan pajak kurang dari 1%.
Untuk memperbaiki masalah fundamental tersebut, kebijakan yang diambil memang tidaklah populer, terlihat dari berbagai respons publik mengenai revisi RUU KUP, mulai dari isu pajak sembako, pajak karbon, atau alternative minimum tax (AMT).
"Tetapi perlu diingat kalau pemulihan [penerimaan] pajak itu berjalan lebih lambat dari ekonomi. Momentumnya sekarang [melakukan reformasi pajak] dan untuk penentuan kapan kenaikan tarif atau barang yang dikecualikan akan berlaku itu masalah timing saja," tutur Darussalam.
Dia menambahkan reformasi pajak juga dibutuhkan untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Menurutnya, hal tersebut menjadi agenda penting yang tidak bisa dipisahkan dari proses bisnis pembaruan kebijakan pajak.
"Kepastian hukum itu sebaiknya menjadi tujuan paling atas dalam reformasi pajak sehingga bisa mengeliminasi sengketa menjadi berlarut-larut karena masalah interpretasi hukum. Kemudian penting juga melakukan edukasi pajak secara terus menerus," ujarnya. (rig)