PEMERINTAH menargetkan penerimaan negara pada 2019 mencapai Rp 2.142,5 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.780,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp361, 1 triliun, dan penerimaan hibah Rp435,3 miliar .
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi beberapa tahun lalu belum mampu melesatkan rasio penerimaan perpajakan Indonesia. Program tax amnesty yang dijalankan pemerintah hingga triwulan pertama tahun lalu merupakan awal bagi reformasi perpajakan.
Pemerintah menyadari rasio pajak 11% amat tidak memadai untuk mendukung pembangunan. Rasio pajak yang dianggap cukup ideal bagi suatu negara untuk mencapai pemerataan dan pemberantasan kemiskinan adalah 15%. Tahun ini rasio pajak dengan penerimaan Rp1.495,9 triliun baru 11%.
Pajak ialah tanggung jawab seluruh warga yang memiliki kemampuan ekonomi. Tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) di Indonesia masih perlu terus diperbaiki. Pada 2016, ada 32 juta WP terdaftar. WP yang wajib menyerahkan Surat Pemberitahuan seharusnya 20 juta, tetapi realisasinya 12 juta.
Jumlah yang hanya 63% ini merupakan suatu tingkat yang relatif kurang baik apabila dibandingkan dengan negara lain yang biasanya mencapai 75%-80%. Perlu melakukan penggiatan dan tidak hanya berhenti pada pengampunan pajak.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan pesta demokrasi yang berlangsung 5 tahun sekali. Pada dasarnya, pemilu cukup erat kaitannya dengan pajak. Pajak adalah sumber utama penyelenggaraan Pemilu. Pada Pemilu 2014, anggaran Komisii Pemilihan Umum mencapai Rp14,4 triliun.
Dari anggaran itu, Rp3,7 triliun dialokasikan untuk pengadaan dan distribusi logistik, Rp2,4 triliun untuk sosialisasi, akreditasi pemantau, updatingdata pemilih, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil, sumpah anggota DPR, DPD, dan DPRD, hingga pelaksanaan Pemilihan Presiden.
Selanjutnya, anggaran digunakan untuk menggaji petugas atau Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara, yakni Rp8,3 triliun. Dari total anggaran itu, KPU pusat mendapat jatah 13,95%. Lebih dari 70%-nya dibiayai dari sektor pajak.
Pajak yang terkait dengan pemilu adalah Pajak Penghasilan (PPh) 21 yang dipotong atas honorarium anggota kepanitiaan yang statusnya bukan pejabat negara, PNS, anggota TNI/Polri, dan pensiunan. Pimpinan dan anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota juga terkena potongan.
Selain itu, ada PPN dan PPh Pasal 23 atas jasa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pemungutan PPN dan PPh Pasal 23 ini terjadi selama belanja pada masa kampanye hingga pemilu. Misalnya saat belanja seperti atribut caleg, alat peraga yang transaksinya dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Apabila lawan transaksi yang menjual atribut caleg, alat peraga itu bukan PKP, maka tidak boleh memungut PPN. Namun, harga jual atas barang kena pajak (BKP) itu tetap ada unsur PPN. Dengan kata lain, PPN-nya sudah melebur dalam harga jual barang kebutuhan kegiatan pemilu tersebut.
Pemotongan PPN atas BKP yang dibeli untuk kepentingan pemilu ini tarifnya sebesar 10%. Sedangkan tarif PPh Pasal 23 yang dikenakan atas aktivitas pemilu ini 2% atas jasa percetakan surat suara. Dengan demikian, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan.
Pertama, pajak dan Pemilu memiliki kaitan yang cukup erat. Kedua, pajak merupakan sumber utama penyelenggaraan pemilu. Sebagian besar dana pemilu berasal dari pajak. Ketiga, ada 3 jenis pajak yang dikenakan saat terjadinya aktivitas pemilu, yakni PPh Pasal 21, PPN, dan PPh Pasal 23.
Materi Kampanye
DALAM masa kampanye ini, soal pajak pun mendapatkan perhatian dari partai politik. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, melontarkan ide penghapuskan pajak sepeda motor jika menang Pemilu, serta membuat regulasi Surat Izin Mengemudi (SIM) berlaku seumur hidup.
Materi kampanye tersebut menimbulkan pro kontra secara luas karena ada dua alasan kenapa penghapusan pajak menjadi isu sensitif. Pertama, hilangnya pajak kendaraan bermotor akan menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara, terlebih bagi kas pemerintah daerah.
Di Jakarta saja, pada 2017 Pemprov DKI Jakarta mendapatkan pemasukan Rp8 triliun dari pajak kendaraan bermotor. Sementara itu, dari bea-balik nama kendaraan bermotor, dihasilkan pendapatan Rp5 triliun. Kedua pajak tersebut berkontribusi sekitar 35% dari total penerimaan pajak daerah.
Kedua, meniadakan pajak akan meningkatkan konsumsi kendaraan bermotor. Masyarakat akan semakin mudah untuk membeli sepeda motor karena tidak menanggung biaya pajak dan biaya administrasi lainnya.
Badan Pusat Statistik menyebut pertumbuhan volume sepeda motor sangat masif, lebih dari 5 juta unit setiap tahun. Berdasarkan data, populasi sepeda motor tahun 2016 sudah melebihi 105 juta unit atau 81% dari keseluruhan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia.
Mengapa isu pajak masuk dalam pemilu? Pertanyaan itu cukup krusial untuk dijawab. Selama ini isu kampanye menjadi nadi dari setiap pesta demokrasi 5 tahunan. Pemilihan isu penghapusan pajak oleh PKS tentu bukan hal yang ujug-ujug. Melihat usulan ini dalam konteks elektoral menjadi penting.
Jika belajar pada negara lain, isu pajak bisa menjadi senjata yang ampuh dalam sebuah kampanye politik. Sebut saja kemenangan Donald Trump pada Pilpres di AS di tahun 2016 yang menggunakan isu pajak sebagai materi kampanye.
Pokok yang sangat urgen pada tahun politik ini adalah aspek ekonomi, terutama masalah finansial, infrastruktur dan terjaganya kecukupan pangan. Penerimaan pajak yang berkesinambungan adalah cara suatu bangsa untuk menjaga kemandirian dan kedaulatannya.
Dalam debat Pemilu 2019, KPU telah mempersiapkan beberapa materi debat. Debat akan digelar sebanyak 5 kali, agar masyarakat dapat mengingat visi, misi dan program capres dan cawapres. Pada debat pemilu sebelumnya hampir tidak ada materi khusus mengenai kebijakan perpajakan.
Apakah pada debat kali ini KPU berani menjadikan isu pajak sebagai salah satu materi debat para capres-cawapres? Atau menjadikannya ke dalam satu sesi dalam paket debat tersebut, tidak hanya mengenai ekonomi secara umum? Waktu yang akan menjawab.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.