LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Menimbang Program Pajak Capres 2019-2024

Redaksi DDTCNews | Senin, 14 Januari 2019 | 00:37 WIB
Menimbang Program Pajak Capres 2019-2024
Ratih Wahyu Nurjanah, D3 Perpajakan Universitas Sebelas Maret.

PAJAK merupakan suatu kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh setiap warga negara kepada negaranya, dan negara tersebut berhak atas pungutan tersebut. Namun, timbal balik yang diberikan tidak dapat diberikan secara langsung. Ini dikarenakan pajak untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan individu. Warga negara akan menerima timbal balik dari pajak yang dibayarkan secara bertahap, misalnyamelalui kemajuan infrastruktur.

Sangat besarnya sumbangsih pajak dalam total penerimaan negara membuat publik menyoroti tawaran program kerja di sektor pajak dari masing-masing calon presiden (capres) Indonesia untuk periode 2019-2024. Apa saja rencana kebijakan perpajakan yang ditawarkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)—Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto—Sandiaga Uno?

Seperti diketahui, aspek perpajakan yang akan diusung kubu Jokowi-Ma’ruf Amin lebih mengedepankan kelanjutan program reformasi perpajakan. Sementara, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uni akan memberikan stimulus fiskal seperti peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) hingga pengurangan tarif pajak badan usaha.

Program Kerja Jokowi—Ma’ruf Amin

Ada dua program kerja yang akan saya telaah. Pertama, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.

Berdasarkan program kerja yang telah dijalankan Jokowi saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada 2014 hingga sekarang, banyak prestasi yang telah diwujudkan aspek perpajakannya. Program tax amnesty dapat dikatakan sukses, meskipun masih banyak wajib pajak (WP) yang masih tidak mau lapor. Selanjutnya, otoritas bekerja sama dengan pihak perbankan dapat membuka identitas WP. Ini termasuk dalam bagian implementasi automatic exchange of information (AEoI).

Namun, keberhasilan ini masih meninggalkan banyak kecacatan dan kerancuan dalam hal aturan atau payung hukum yang berlaku. Selain itu, penggunaan basis teknologi informasi juga masih kurang. Walaupun, di masa mendatang, sejalan dengan reformasi perpajakan, ada core tax system. Core tax systemmerupakan salah satu bagian dari upaya untuk memperbaiki sistem perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sebagai langkah awal, kementeriannya akan terlebih dahulu membuat payung hukum yang bisa memenuhi kebutuhan core tax system. Adapun, pembuatan payung hukum tersebut nantinya melalui revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Core tax administration system sebagai sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas Ditjen Pajak, termasuk automasi proses bisnis. Proses bisnis itu mulai dari proses pendaftaran WP, pemrosesan surat pemberitahuan dan dokumen perpajakan lainnya, pemrosesan pembayaran pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi tax payer accounting.

Kedua, memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah juga telah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM dari 1% menjadi 0,5%. Insentif ini diharapkan mampu memperluas basis pajak yang selama ini masuk dalam kelompok shadow economy. Dengan demikian, dapat dilihat, prospek penerimaan negara akan meningkat dengan signifikan apabila program kerja ini dapat berhasil ditempuh sesuai dengan target.

Program Kerja Prabowo—Sandiaga Uno

Sementara itu, kubu Prabowo—Sandiaga Uno menjabarkan beberapa program kerja. Pertama,meningkatkan daya beli masyarakat dengan menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif Pajak PPh Pasal 21. PTKP merupakan pengurang penghasilan neto individu untuk menentukan berapa sebenarnya penghasilan kena pajak (PKP) atas individu tersebut. Semakin besar PTKP, semakin kecil PKP dan semakin besar pula take home pay-nya. Hal sebaliknya jika PTKP semakin kecil.

Rencana penurunan batas PTKP ini tentu harus didukung oleh berbagai pihak karena ini memberikan dampak positif untuk perekonomian negara. Ada harapan tingkat konsumsi dalam negeri meningkat. Apabila tingkat konsumsi meningkat, ada peluang positif terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak lainnya.

Lebih lanjut, dampak kenaikan take home pay berpotensi meningkatkan tabungan masyarakat. Uang yang sebelumnya digunakan untuk membayar PPh bisa ditabung, jika WP memilih untuk tidak membelanjakannya. Peningkatan pola saving ini akan menjadi keuntungan bagi perbankan untuk dapat memutar kembali uang tersebut dalam bentuk pinjaman kredit usaha mikro, pembiayaan cicilan kredit properti, dan instrumen lainnya yang dapat menggerakkan roda perekonomian bangsa.

Selain itu, kenaikan batas PTKP telah meniadakan kewajiban pelaporan pajak untuk beberapa WP OP karyawan yang gajinya tidak melebihi atau sama dengan nilai PTKP. Dengan demikian, kebijakan ini memberikan perlindungan dan keringanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah dengan tidak lagi terbebani pemotongan PPh 21.

Tentunya, itu semua bergantung dengan kondisi perekonomian global yang sedang berkembang di dunia. Dengan demikian, perubahan PTKP seharusnya dapat dijalankan sesuai dengan kondisi perekonomian, sehingga prospek penerimaan negara yang bisa dipungut juga masih cukup besar.

Kedua, menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban hidup, khususnya kebutuhan papan masyarakat. Pada prinsipnya, pajak yang berlaku di indonesia ini tidaklah memberatkan setiap WP. Oleh karena itu, dalam hal konteks ini, tujuan penghapusan PBB itu tidak perlu dengan alasan ‘meringankan beban hidup’.

Menurut saya, adanya penghapusan pajak ini akan berdampak kurang baik dari sisi penerimaan daerah.Bagaimanapun, PBB sudah menjadi domain pemerintah daerah. Alhasil, pembiayaan pembangunan yang bertujuan untuk memajukan daerah akan tersendat jika kebijakan penghapusan PBB dilakukan.

Ketiga, menurunkan tarif PPh badan Indonesia, minimal setara dengan Singapura agar lebih kompetitif.Penentuan tarif pajak di suatu negara tidak terpacu karena logika ‘Jika negara A bisa, mengapa negara B tidak?’. Penentuan tarif pajak yang berlaku berdasarkan kemampuan masing-masing negara untukmencukupi kebutuhannya. Dengan demikian, kita tidak bisa begitu saja menyetarakan indonesia dengan negara lain, termasuk Singapura. Bagaimanapun, sektor potensial dari tiap negara buka berbeda.

Demikian sedikit penjelasan program kerja terkait pajak dari pasangan calon pemimpin Indonesia yang nantinya akan dipilih serentak pada April 2019. Oleh karena itu, mari kita lebih cermat lagi dalam hal menentukan arah kebijakan perpajakan Indonesia. Salah satu aksi nyata dalam mewujudkan perubahan negara ini menggunakan hak pilih dalam hajatan pesta demokrasi tahun ini. *

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Minggu, 22 Oktober 2023 | 12:03 WIB FEB UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Hadir di UNS, Darussalam Bagikan Tip Membangun Karier di Bidang Pajak

Minggu, 22 Oktober 2023 | 11:07 WIB FEB UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Hari Ini Berlangsung Talk Show Soal Peluang Karier oleh HMJA FEB UNS

Jumat, 22 September 2023 | 15:00 WIB HMJA FEB UNS

HMJA FEB UNS Gelar Talk Show tentang Peluang Karier, Bisa Review CV!

BERITA PILIHAN