Zainal Abidin,
SEJAK Maret 2020, pemerintah telah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Angka ini terus bertambah, hingga pada perubahan ketiga, jumlah APBN yang dialokasikan mencapai Rp695,2 triliun.
Namun, jika diakumulasi dengan pembiayaan dari APBD Rp78,2 triliun dan Dana Desa Rp28,46 triliun, jumlah dana untuk penanganan Covid-19 ini sudah mendekati Rp800 triliun. Anggaran itu dialokasikan untuk program pemulihan ekonomi nasional yang terbagi dalam 6 kluster.
Ke-6 kluster tersebut adalah kesehatan, perlindungan sosial, program sektoral kementerian/lembaga dan pemda melalui program padat karya, dukungan usaha mikro, kecil dan menengah, serta insentif dunia usaha, dan pembiayaan korporasi terutama untuk BUMN dan swasta.
Bagai dua sisi mata uang, pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Negara membutuhkan anggaran antara lain untuk membangun infrastruktur. Namun, pendapatan dari sektor pajak ini juga harus dialokasikakn untuk pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.
Kendati demikian, pemerintah tidak dalam posisi dilematis untuk memprioritaskan salah satu di antara dua pilihan itu. Selain karena pajak memiliki fungsi budgeter, pajak juga berfungsi regulerend atau mengatur, mendorong dan mengendalikan kegiatan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110/2018, fungsi regulerend itu dapat dijalankan tatkala terjadi pemanasan atau pendinginan atau juga ketidakstabilan sendi perekonomian yang berdampak kepada ekonomi makro suatu negara.
Dengan adanya panduan kebijakan pajak dalam bentuk regulasi, hal tersebut diharapkan dapat menyentuh langsung dan menstimulasi sendi perekonomian yang sedang berlangsung, sehingga bisa kembali kepada kondisi ekonomi yang stabil, produktif dan optimal.
Metode CSA
SEJUMLAH regulasi memang telah dibuat untuk memaksimalkan peran pajak di tengah pandemi Covid-19, seperti PMK 28/2020 dan PMK 23/2020. Namun regulasi Kemenkeu ini perlu disinkronisasi dengan regulasi dari kementerian/lembaga lain yang juga terkait dengan penanganan Covid-19.
Seperti Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020, dan Surat Edaran Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan SE-5/K/D2/2020. Sinkronisasi ini diperlukan agar upaya menstimulasi sendi perekonomian bisa efektif.
Pada tataran praktik, sinkronisasi peraturan ini tentu perlu dimaksimalkan, salah satunya dengan mendorong lahirnya regulasi yang menekankan pentingnya control self assesment (CSA) pada tingkat manajemen atau pimpinan instansi.
CSA adalah proses penilaian diri sendiri tentang efektivitas pengendalian untuk memberi keyakinan tujuan/sasaran organisasi akan tercapai. Penilaian sendiri merujuk upaya yang melibatkan manajemen dan karyawan dalam evaluasi dan pengukuran efektivitas pengendalian (BPKP, 2014).
Dengan metode CSA, pimpinan lembaga mampu memproteksi secara dini risiko pelaksanaan regulasi, seperti kesalahan menerjemahkan jenis barang dan jasa yang tidak dipungut PPN/PPh berdasarkan PMK 28/2020 dan PMK 23/2020.
Hal ini juga memudahkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) saat me-review pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan penanganan Covid-19. Namun, efektivitas CSA ini masih tetap diuji di lapangan, apakah dapat mencegah praktik korupsi atas semua insentif yang digelontorkan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.