JANJI kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) yang digaungkan oleh Prabowo-Sandi dalam visi misi kampanyenya menuju kursi istana menjadi sorotan banyak pihak, terutama para pemerhati pajak dan pengusaha.
Berita ini dianggap sebagai angin segar oleh beberapa pihak yang merasa diuntungkan atas kebijakan yang akan diterapkan oleh kubu oposisi saat menduduki kursi istana. Namun, janji kebijakan pajak ini sejatinya perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan lebih masak, terkait potensi dan ancaman yang akan terjadi, seperti soal kelestarian penerimaan negara dan kesesuaian respons masyarakat terhadap kebijakan yang disahkan serta keputusan belanja yang akan diambil.
Latar belakang mengapa kebijakan ini perlu dianalisis lebih dalam adalah pertama, dalam informasi APBN dua tahun terakhir yang disusun oleh Direktorat Jenderal Anggaran menunjukkan bahwa PPh sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak ke kas negara, yaitu lebih dari 52,6% dengan didominasi oleh PPh nonmigas orang pribadi.
Artinya jika diadakan peningkatan terhadap besaran PTKP dan penurunan tarif pada PPh dapat dipastikan berdampak langsung terhadap besaran penerimaan APBN tahun yang akan datang.
Kedua, tax ratio yang merupakan suatu ukuran kinerja penerimaan pajak suatu negara di Indonesia akan semakin tertinggal, hal ini akibat dari penerimaan pajak yang semakin tergerus. Menurut Ditjen Pajak dalamddtcnews.co.id, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia adalah batas Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Regional (UMR) yang berada terlalu jauh di bawah batas PTKP.
Alasan inilah yang menyebabkan PTKP tidak mampu memberikan dampak yang signifikan pada penerimaan pajak dan membuat tax ratio tertinggal dengan negara lain. Maknanya jika terjadi perubahan kenaikan PTKP dengan tidak didukung kenaikan UMP dan UMR secara seimbang maka akan berdampak menurunnya tax ratio dan berpotensi menurunkan pendapatan pajak negara.
Ketiga, pemerintah akan kehilangan momen keemasan penerimaan PPh di masa yang akan datang dengan adanya bonus demografi. Hal ini terjadi karena menurut Darussalam, Danny Septriadi, dan Khisi Armya Dhora (2018), potensi tren penerimaan PPh akan semakin meningkat bagi negara yang didominasi oleh populasi penduduk usia produktif (productive age population), tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal oleh negara sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatannya.
Di sisi lain peningkatan batas PTKP bagi pelaku usaha dapat mempermudah pemungutan dan penyetoran PPh, karena ada kemungkinan terdapat perubahan jumlah wajib pajak yang berada di bawah tanggung jawab entitas pelaku usaha untuk dipotong dan disetorkan pajaknya (withholding system).
Selain itu bagi masyarakat kategori kelas menengah ke bawah kebijakan ini dapat mendorong peningkatan konsumsi atau investasi, yang berdampak pada terciptanya multiplier effect dengan harapan dapat meningkatkan efektivitas penerimaan pajak di masa yang akan datang, dengan catatan terdapat kestabilan laju inflasi dan situasi ekonomi yang kondusif.
Hal ini diperlukan karena bila inflasi tidak dijaga dan situasi ekonomi tidak terkendali, kenaikan batas PTKP tidak akan berpengaruh pada peningkatan daya beli masyarakat dan atau investasi.
Kebijakan peningkatan batas PTKP dalam politik pajak sejatinya adalah kebijakan yang realistis dan bukan sesuatu yang baru dengan berbagai macam pro dan kontranya, Tetapi dalam konteks ini, eksekusinya memerlukan timing yang tepat agar kebijakan yang diluncurkan tidak kontraproduktif dan hanya menghasilkan perubahan sesaat.
Jika yang menjadi dasar utama penetapan kebijakan ini adalah untuk memberikan stimulus perekonomian, dan turut serta menyelesaian permasalahan dasar masyarakat, maka kebijakan ini rasanya tidak dapat merangkum keduanya. Karena memang secara substansi yang sempit kebijakan ini hanya dirancang untuk memberikan stimulus ekonomi mendorong peningkatan konsumsi dan atau investasi masyarakat.
Lantas, terobosan kebijakan seperti apa yang relevan untuk dapat menstimulasi penyelesaian masalah dasar masyarakat?
Untuk itu, selain kenaikan batas PTKP, perlu ditambahkan pemotongan biaya khusus (special expense deductions) yang dapat dikurangkan dalam unsur perhitungan penghasilan kena pajak orang pribadi. Pemotongan biaya khusus ini memiliki beberapa kelebihan, pertama, hanya wajib pajak yang memenuhi kategori khusus yang dapat menerima stimulus fiskal.
Kedua, lebih mewujudkan keadilan sosial karena berkaitan langsung dengan beban yang ditanggung wajib pajak, serta lebih dapat meminimalisasi penurunan pendapatan negara, karena dilihat dari sifatnya yang tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh wajib pajak.
Ketiga, kontribusi pemotongan biaya khusus akan secara lansung mengikat pada subjek yang mengalami permasalahan dasar kehidupan. Tambahan pemotongan biaya khusus yang dimaksud meliputi:
Saran ini didasarkan pada pandangan bahwa ketentuan biaya yang dapat dikurangkan dalam penghasilan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 kurang dapat menyelesaikan permasalahan dasar masyarakat. Untuk itu, kebijakan kenaikan PTKP yang diusungkan kubu penantang ini dapat diramu kembali agar tujuannya dapat tepat sasaran.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.