Sonya Isabella,
SEJAK Maret 2020, pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Lockdown atau pembatasan aktivitas menjadi salah satu solusi yang diambil pemerintah. Bertambahnya waktu luang yang dimiliki masyarakat Indonesia meningkatkan intensitas penggunaan TikTok.
TikTok merupakan aplikasi jejaring sosial yang memungkinkan pengguna membuat video dengan durasi tertentu. Berdasarkan pada data Sensor Tower Store Intelligence, TikTok menjadi aplikasi nongame yang paling banyak diunduh di dunia. Jumlahnya sekitar 3 miliar unduhan baik via iOS maupun Android.
TikTok diluncurkan pada September 2016, tetapi baru mencapai puncaknya pada paruh pertama 2020 dengan 318 juta unduhan. Saat ini, Indonesia berada di urutan keempat sebagai negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia. TikTok menjadi salah satu media sosial yang digandrungi masyarakat Indonesia selama pandemi hingga saat ini.
Sebelumnya, aplikasi ini kerap kali dikenal sebagai penghasil konten joget-joget saja. Penggunanya biasa disebut sebagai TikToker. Namun, makin banyaknya TikToker menyebabkan mulai beragamnya konten, seperti ajang adu bakat, kuliner, komedi, bahkan sarana edukasi dan promosi. TikTok yang awalnya hanya untuk hiburan ternyata dapat mendatangkan pundi-pundi uang.
Pada era digital saat ini, sudah menjadi hal yang wajar jika setiap orang membangun personal branding. Dengan personal branding, TikToker dapat meningkatkan nilai jual atas konten yang telah dibuat. Hal ini juga mampu menarik banyak audience sehingga berkesempatan untuk mendapatkan centang biru.
Adanya centang biru menandakan akun tersebut telah terverifikasi pihak TikTok sehingga akan lebih kredibel untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain. Namun, akun dengan pengikut banyak juga memiliki peluang besar meskipun belum bercentang biru.
Tiktoker yang rutin memproduksi beragam konten sehingga dikenal banyak orang dan menjadikan aplikasi ini sebagai ladang penghasilan biasa disebut TikTok creator. Sama seperti Instagram dan Youtube, TikTok menjadi media baru untuk mencari sumber pendapatan pada masa pandemi.
Banyak juga orang yang meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan beralih menjadi TikTok creator. Bagaimanapun, banyak cara untuk memperoleh penghasilan dari TikTok, salah satunya fitur live streaming. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk melakukan siaran langsung agar ditonton banyak orang. Dengan fitur ini, mereka memperoleh gift item dari penonton yang dapat ditukarkan dengan uang.
Skema aktivitas promosi melalui Tiktok tidak jauh berbeda dengan Instagram. Pada Instagram, Selebgram dimungkinkan untuk membuka jasa promosi produk (endorse) hingga bekerja sama dengan brand ternama.
Setiap TikTok creator memasang tarif atau biasa dikenal dengan rate card. Tarif yang dimiliki tiap TikTok creator berbeda-beda dari kisaran ratusan ribu hingga belasan juta. Pasar yang dimiliki pun berbeda antara TikTok dan Instagram. TikTok melahirkan banyak content creator baru yang sebelumnya tidak berkarya di media sosial lain.
Dapat disimpulkan bahwa banyak sekali TikTok creator yang berpotensi memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam setahun. Dengan demikian, mereka memiliki kewajiban untuk membayar pajak terutang.
Seperti yang kita ketahui, TikTok creator tergolong sebagai pekerjaan bebas, sama seperti selebgram, youtuber, dan artis. Namun, masih banyak dari mereka yang belum taat perpajakan, bahkan tidak melaporkan penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Begitu pula dengan TikTok creator yang memiliki penghasilan di atas PTKP, tetapi masih dibawah umur 18 Tahun. Pada prinsipnya, ketika syarat subjektif dan objektif telah terpenuhi, kita harus merujuk pada UU Pajak Penghasilan (PPh).
Kurangnya pemahaman mengenai ketentuan tersebut mengakibatkan penghasilan anak yang menjadi TikTok creator tidak pernah diikutkan untuk digabung dalam pelaporan SPT Tahunan. Padahal, keluarga merupakan suatu kesatuan ekonomis.
HINGGA saat ini, belum ada ketentuan pajak yang dirancang khusus untuk TikTok creator, sama halnya dengan content creator dari media sosial lainnya. Namun, kondisi tersebut bukan berarti membuat mereka lepas dari kewajiban perpajakan, yaitu setor dan lapor.
Besarnya penerimaan pajak dari TikTok creator memang sulit untuk diukur. Oleh karena itu, diharapkan ada upaya penggalian potensi pajak secara khusus karena perkembangan aktivitas ini memiliki potensi besar, terutama pada masa pandemi.
Pada 2019, Ditjen Pajak telah meluncurkan sebuah sistem internal bernama Social Network Analytics System (Soneta) yang fungsinya untuk memantau setiap pergerakan aktivitas content creator media sosial,
Sayangnya, sistem itu ternyata masih belum terintegrasi sehingga baru diaplikasikan di unit-unit tertentu. Untuk itu, Ditjen Pajak harus menyempurnakan sistem ini dan diharapkan dapat menjangkau platform lain, termasuk TikTok.
Perkembangan TikTok creator ini juga sangat pesat. Oleh karena itu, para account representative (AR) dapat melakukan pengawasan yang lebih optimal dengan cara memantau secara manual aktivitas para TikTok creator.
Mengenai kendala dalam penjangkauan, otoritas dapat membentuk suatu database berisi daftar TikTok creator yang berpotensi untuk diawasi, baik yang akunnya telah terverifikasi maupun tidak. Selain itu edukasi dan sosialisasi juga diperlukan untuk menjalin itikad baik serta meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak.
Pada 2017, DJP berhasil memperoleh penerimaan pajak senilai Rp2,7 miliar dari 51 influencer media sosial. Oleh karena itu, DJP juga berpotensi memperoleh penerimaan yang lebih baik karena lahirnya para TikTok creator. Tentu saja, hal tersebut dapat membantu perekonomian Indonesia untuk pulih perlahan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.