Ilustrasi. Pekerja menyelesaikan pembangunan Stasiun Kereta Api Ringan atau Light Rail Transit (LRT) di Kuningan, Jakarta, Jumat (8/5/2020). Selama masa pandemi virus Corona atau COVID-19, Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengizinkan perusahaan swasta menunda atau mencicil pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) keagamaan tahun 2020 yang harus diselesaikan di tahun yang sama. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/pras.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan pengusaha tetap wajib membayarkan tunjangan hari raya (THR) keagamaan kepada pegawai paling lambat H-7 Lebaran.
Ida mengatakan pembayaran THR keagamaan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Beleid ini merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan.
"THR keagamaan merupakan pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (11/5/2020).
Ida sebelumnya telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020. Melalui beleid itu, dia memberi ruang bagi pengusaha mencicil atau menunda pembayaran THR. Simak artikel ‘Perusahaan Cicil atau Tunda THR Karyawan? Boleh, Asalkan...’.
Namun, Ida menegaskan pengusaha tetap wajib membayarkan THR keagamaan tepat waktu. Menurutnya, semangat SE tersebut hanya mendorong dialog agar tercapai kesepakatan antara pengusaha dan karyawan, seandainya perusahaan tidak mampu membayar THR. Bahkan, tetap ada sanksi jika pengusaha tak membayarkan THR karyawan.
"Pengusaha yang terlambat membayar THR keagamaan kepada pekerja/buruh akan dikenai denda, sedangkan pengusaha yang tidak membayar THR dapat dikenai sanksi administratif hingga penghentian sebagian usaha," ujarnya.
Dia menjelaskan pengusaha yang terlambat membayar THR keagamaan kepada pekerja/buruh dikenai denda sebesar 5%. Denda tersebut akan dikelola dan dipergunakan untuk kesejahteraan pekerja/buruh serta tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh.
Jika perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Ida menyebut perlu ada dialog antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Proses dialog tersebut, sambung Ida, harus dilakukan secara kekeluargaan. Proses juga perlu dilandasi dengan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan dan itikad baik untuk mencapai kesepakatan.
Menurutnya, dialog tersebut dapat menyepakati beberapa hal. Pertama, perusahaan yang tidak mampu membayar THR secara penuh pada waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan bisa melakukan pembayaran THR dapat secara bertahap.
Kedua, perusahaan yang tidak mampu membayar THR sama sekali pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bisa melakukan penundaan pembayaran THR sampai dengan jangka waktu tertentu yang disepakati. Ketiga, kesepakatan mengenai waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR keagamaan.
"Melalui SE ini, para gubernur di seluruh Indonesia juga diminta untuk memastikan perusahaan membayar THR keagamaan kepada pekerja/buruh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," katanya. (kaw)