RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 Pembebasan Pembayaran Bunga Obligasi

Vallencia
Kamis, 06 April 2023 | 15.36 WIB
Sengketa PPh Pasal 23 Pembebasan Pembayaran Bunga Obligasi

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 atas pembebasan pembayaran bunga pinjaman obligasi.

Dalam perkara ini, wajib pajak menerima pinjaman obligasi dan memiliki kewajiban untuk membayar bunga obligasi. Namun, pada 2005, wajib pajak mengalami kondisi rugi akibat krisis sehingga meminta keringanan berupa pembebasan pembayaran bunga obligasi kepada pihak peminjam. Oleh karena itu, wajib pajak tidak membayar bunga obligasi selama 2005.

Otoritas pajak berpendapat terhadap bunga obligasi seharusnya dipotong PPh Pasal 23. Sebab, wajib pajak telah membebankan biaya bunga obligasi, baik secara komersial maupun secara fiskal, dalam Surat Pemberitahuan (SPT) PPh badan 2005. Dengan demikian, wajib pajak sudah mengakui terutangnya penghasilan meski belum terjadi pembayaran.

Sementara itu, wajib pajak tidak sepakat dengan otoritas pajak. Saat dilakukan peminjaman sejumlah uang, wajib pajak tengah mengalami kerugian sehingga pihaknya meminta pembebasan pembayaran bunga. Dengan tidak adanya pembayaran bunga obligasi, tidak terdapat pula objek PPh Pasal 23 yang perlu dipotong.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi positif PPh Pasal 23 yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak tepat.

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, biaya bunga surat utang dan bunga obligasi seharusnya dibayarkan pada 31 Desember 2005. Namun, tidak ada pembayaran bunga yang dilakukan oleh wajib pajak. Hal ini dibuktikan dengan Perjanjian Perubahan (Amendment Agreement) Nomor 5 tentang Pembebasan Pembayaran Bunga Surat Utang (Redeemable Notes) dan Obligasi Tukar (Convertible Bonds) dari Pemberi Pinjaman.

Di samping itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai biaya bunga surat utang (redeemable notes) dan bunga obligasi (convertible bonds) yang telah dibebankan secara fiskal dan komersial oleh wajib pajak bukan murni kesalahannya. Sebab, wajib pajak menggunakan sistem akrual dalam pembukuannya. tetapi tidak melakukan koreksi fiskal positif saat melaporkan SPT PPh badan 2005.

Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan seharusnya otoritas pajak melakukan koreksi fiskal positif pada saat pemeriksaan karena terbukti tidak ada pembayaran bunga surat utang dan bunga obligasi.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 25732/PP/M.IV/12/2010 tanggal 1 September 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 16 Desember 2010.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi DPP PPh Pasal 23 berupa bunga surat utang dan obligasi untuk masa pajak Januari hingga Desember 2005 yang dibatalkan oleh Majelis Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Termohon PK menerima pinjaman obligasi yang terdiri atas surat utang dan obligasi tukar.

Berdasarkan Amendment Agreement Nomor 4 tanggal 17 Oktober 2003, Termohon PK memiliki kewajiban membayar bunga obligasi dengan perincian sebagai berikut: (i) suku bunga surat utang per 1 Januari 2005 sampai dengan 30 Juni 2005 sebesar 0% per tahun; (ii) suku bunga atas surat utang per 1 Juli 2005 dan setelahnya sebesar 11% per tahun; dan (iii) suku bunga obligasi tukar adalah sebesar 3% per tahun.

Kemudian, sebagai akibat dari krisis ekonomi, Termohon PK membuat Amendment Agreement Nomor 5 dengan ketentuan bahwa peminjam dapat diberikan keringanan atas suku bunga obligasi menjadi 0% untuk tahun 2005. Dengan perjanjian baru, Termohon PK tidak membayar bunga obligasi kepada peminjam selama tahun 2005 dan tidak memotong PPh Pasal 23.

Menurut Pemohon PK, beban bunga obligasi seharusnya dipotong PPh Pasal 23. Meskipun tidak terdapat pembayaran bunga obligasi, tetapi Termohon PK membebankan biaya bunga obligasi baik secara komersial maupun secara fiskal dalam SPT PPh badan 2005. Artinya, Termohon PK sudah mengakui terutangnya penghasilan sebelum terjadinya pembayaran.

Sesuai dengan Amendment Agreement Nomor 4, Pemohon PK menghitung kembali besaran beban bunga yang seharusnya dibayar oleh Termohon PK kepada peminjam. Kemudian, Pemohon PK menetapkan koreksi positif DPP PPh Pasal 23 atas bunga obligasi.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menyatakan perusahaan sedang mengalami kerugian sehingga tidak mampu melakukan pembayaran atas pokok dan bunga obligasi. Termohon PK tidak dapat memprediksi kondisi force majeur ini.

Terhadap kondisi tersebut, Termohon PK telah membuat Amendment Agreement Nomor 5 yang menyatakan bunga obligasi pada 2005 sebesar 0%. Dengan demikian, Termohon PK tidak membayar bunga obligasi pada 2005 kepada pihak peminjam sehingga tidak terdapat objek PPh Pasal 23 yang terutang.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Adapun terhadap perkara ini, Mahkamah Agung menyatakan koreksi fiskal positif DPP PPh Pasal 23 yang ditetapkan oleh Pemohon PK tidak dapat dipertahankan. Selain itu, tidak terdapat putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.