RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Biaya Royalti Sebagai Pengurang Penghasilan Bruto

Hamida Amri Safarina
Rabu, 10 Februari 2021 | 17.32 WIB
Sengketa Biaya Royalti Sebagai Pengurang Penghasilan Bruto

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum tentang biaya royalti sebagai pengurang penghasilan bruto. Sebagai informasi, wajib pajak dengan perusahaan dalam negeri (PT X) telah menandatangani trademark licence agreement (TLA). Berdasarkan perjanjian tersebut, wajib pajak berhak menggunakan merek dan rahasia dagang milik PT X dan wajib membayar royalti.

Wajib pajak menyatakan pemilik merek dan rahasia dagang atas produk cat ialah pihak PT X. Terhadap penggunaan merek dan rahasia dagang tersebut, wajib pajak berkewajiban membayar royalti kepada PT X.

Adapun biaya royalti tersebut merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 (UU PPh).

Otoritas pajak berpendapat PT X bukanlah pemilik dari hak merek dan rahasia dagang atas produk cat. Pemilik merek dan rahasia dagang tersebut ialah wajib pajak. Sebagai pemilik merek dan rahasia dagang tersebut, seharusnya wajib pajak tidak perlu lagi mengeluarkan biaya royalti.

Pembayaran yang dilakukan wajib pajak kepada PT X ialah dividen terselubung. Kemudian otoritas pajak melakukan reklasifikasi biaya royalti menjadi biaya dividen. Dengan demikian, terhadap biaya tersebut tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat wajib pajak dengan PT X telah menandatangani trademark licence agreement (TLA). Merujuk perjanjian tersebut dapat diketahui pemilik merek dan rahasia dagang atas produk cat ialah PT X. Dengan kata lain, PT X berhak atas royalti yang dibayarkan wajib pajak.

Oleh karena itu, biaya royalti tersebut masih berhubungan dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh.

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 58177/PP/M.XIVA/15/2014 tertanggal 4 Desember 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 27 Maret 2015.

Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi harga pokok penjualan pada pos biaya royalti Rp19.731.443.325 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Berdasarkan TLA yang dibuat antara Termohon PK dengan PT X, kedua pihak tersebut masih dalam satu manajemen dan memiliki alamat usaha yang sama. Selain itu, Termohon PK juga memiliki saham di perusahaan PT X sebesar 30,5%. Dengan kata lain, Termohon PK memiliki hubungan istimewa dengan pihak PT X.

Melihat fakta tersebut, Pemohon PK beranggapan pemilik merek dan rahasia dagang atas produk cat ialah Termohon PK. Sebagai pemilik merek dan rahasia dagang tersebut, seharusnya wajib pajak tidak perlu lagi mengeluarkan biaya royalti. Selain itu, Pemohon PK menilai pembayaran yang dilakukan Termohon PK kepada PT X ialah dividen terselubung.

Atas dasar tersebut, Pemohon PK melakukan reklasifikasi biaya royalti menjadi biaya dividen. Dengan demikian, biaya tersebut bukan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah tepat sehingga harus dipertahankan.

Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Menurutnya, pemilik merek dan rahasia dagang dalam memproduksi cat ialah pihak PT X. Kepemilikan merek dan rahasia dagang dapat dibuktikan dengan sertifikat resmi yang diberikan oleh kementerian yang berwenang.

Berdasarkan TLA yang disepakati, Termohon PK dapat menggunakan formula, daftar bahan baku, spesifikasi bahan baku, proses produksi, dan prosedur teknik pengendali mutu milik PT X dalam memproduksi cat.

Selain itu, Termohon juga memperoleh informasi dari PT X terkait dengan spesifikasi produk jadi, analisa kualitas, pengendali kualitas, prosedur pengujian serta teknik, informasi harga, informasi pemasaran, dan jasa teknik.

Dalam persidangan, Termohon PK sudah menyerahkan sertifikat merek dan TLA untuk membuktikan dalil-dalilnya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan tindakan Termohon PK yang membayar royalti kepada PT X sudah benar.

Adapun biaya royalti tersebut dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK dinilai tidak berdasar sehingga harus ditolak.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi harga pokok penjualan pada pos biaya royalti sebesar Rp19.731.443.325 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara a quo, pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar. Putusan Mahkamah Agung ini menguatkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.