RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

DDTC Fiscal Research and Advisory
Senin, 30 September 2024 | 10.45 WIB
Sengketa PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

Ilustrasi.

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa terkait PPh Pasal 23 atas biaya jasa freight forwarding senilai Rp34.505.870.

Otoritas pajak berpendapat bahwa jasa freight forwarding yang mencakup biaya pelayanan trucking exim, handling charge, agency, terminal handling charges (THC), dan forwarder cargo receipt (FCR), merupakan objek PPh Pasal 23 berdasarkan Surat Dirjen S-59/PJ.43/2006.

Sebaliknya, wajib pajak menilai bahwa atas jasa freight forwarding tersebut bukan merupakan objek PPh 23. Adapun, argumentasi wajib pajak tersebut didasarkan pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ./2007.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari pokok sengketa banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa sebagian koreksi terhadap beberapa jenis objek terkait pelayanan jasa freight forwarding pajak tidak dapat dipertahankan.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.47652/PP/M.II/12/2013 tanggal 3 Oktober 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 Januari 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah adanya sengketa atas objek PPh Pasal 23 UU PPh berupa biaya trucking exim, handling charge, agency, THC, dan FCR senilai Rp34.505.870 untuk tahun pajak 2008.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK adalah wajib pajak badan yang menjalankan usaha jasa penjahitan atau maklon.

Dalam operasionalnya, Termohon PK menggunakan jasa freight forwarding yang meliputi biaya trucking exim, handling charge, agency, THC, dan FCR. Namun demikian, Termohon PK tidak melaporkan jasa freight forwarding tersebut sebagai objek PPh 23.

Oleh karena itu, Pemohon PK melakukan koreksi atas jasa freight forwarding sebagai objek PPh Pasal 23 yang belum dipungut dan dilaporkan oleh Termohon PK. Setidaknya terdapat dua argumentasi Pemohon PK untuk mempertahankan koreksi atas jasa freight forwarding sebagai objek penghasilan PPh Pasal 23 tersebut.

Pertama, koreksi atas jasa freight forwarding sebagai objek PPh Pasal 23 seharusnya dapat dipertahankan karena dasar pengenaanya telah diatur pada Surat Dirjen S-59/PJ.43/2006. Adapun surat penegasan tersebut secara jelas menyatakan bahwa jasa freight forwarding termasuk dalam kategori jasa perantara yang terutang PPh Pasal 23.

Kedua, Termohon PK keliru dalam menginterpretasikan Surat Dirjen S-09/PJ.032/2008 sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa jasa freight forwarding tidak lagi dikenakan PPh Pasal 23.

Menurut Pemohon PK, keberadaan Surat Nomor S-09/PJ.032/2008 telah memberikan kepastian hukum dalam menentukan objek PPh Pasal 23 atas freight forwarding. Meski demikian, ketentuan tersebut memang tidak mengikat secara umum. Atas dasar tersebut, Pemohon PK berpendapat bahwa Termohon PK kurang tepat dalam mempertimbangkan dasar hukum yang ada.

Sebaliknya, Termohon PK menolak pendapat Pemohon PK dan tetap berargumen bahwa jasa freight forwarding bukan merupakan jasa yang terutang PPh Pasal 23. Argumen Termohon PK tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu tidak adanya definisi jasa perantara dalam Peraturan DJP Nomor PER-70/PJ./2007. Selain itu, jasa freight forwarding dinyatakan sebagai objek PPh Pasal 23 dalam Surat Nomor S-09/PJ.032/2008.

Lebih lanjut, Termohon PK berargumen bahwa ketetapan hukum yang digunakan oleh Pemohon PK, yaitu Surat Nomor S-59/PJ.43/2006 telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Akibatnya, ketentuan dalam surat tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum untuk mengatur bahwa jasa perantara, termasuk jasa freight forwarding dan merupakan objek PPh Pasal 23.

Selain itu, Termohon PK juga keberatan dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Adapun menurut Termohon PK, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melakukan kesalahan dengan mengabaikan fakta-fakta hukum dan peraturan perpajakan yang berlaku selama pemeriksaan banding di Pengadilan Pajak.

Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon PK tidak dapat diterima. Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Termohon PK dan menetapkan pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp28.310.549 dianggap sudah tepat dan benar. Setidaknya terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, alasan-alasan permohonan Pemohon PK untuk mempertahankan koreksi DPP PPh Pasal 23 tahun pajak 2008 sejumlah Rp34.505.870 tidak dapat dibenarkan. Sebab, dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan.

Kedua, setelah dilakukan uji bukti oleh para pihak di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, koreksi terhadap Terbanding PK tidak dapat dipertahankan. Sebab, koreksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e UU Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan dan harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara.

Hal ini karena koreksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e UU Pengadilan Pajak. (Felix Bahari/sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.