RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Belum Dipotongnya PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

Redaksi DDTCNews
Jumat, 29 September 2023 | 15.15 WIB
Sengketa Belum Dipotongnya PPh Pasal 23 atas Jasa Freight Forwarding

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai belum dipotongnya PPh Pasal 23 atas jasa freight forwarding.

Dalam perkara ini, otoritas pajak menyatakan terdapat biaya atas jasa freight forwarding yang belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Belum dilakukannya pemotongan PPh Pasal 23 menyebabkan adanya pajak yang kurang dibayar.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan jasa freight forwarding tersebut seharusnya tidak termasuk dalam jasa yang dikenakan PPh Pasal 23. Oleh karena itu, pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas pembayaran dari wajib pajak.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat jasa freight forwarding yang dilakukan tidak termasuk dalam jasa yang dikenakan PPh Pasal 23.

Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, jasa freight forwarding tidak dapat ditafsirkan secara langsung sebagai jasa lain. Sebab, jasa lain dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU 7/1983 juncto UU 17/2000 memiliki cakupan yang luas.

Berdasarkan pada hal tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan jasa freight forwarding tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Hal ini dikarenakan jasa freight forwarding tidak termasuk dalam kategori jasa perantara atau jasa lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 70/2007.

Keyakinan Majelis Hakim Pengadilan Pajak didukung dengan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-09/PJ.032/2008 yang berisi penegasan jasa freight forwarding tidak termasuk dalam jasa yang dikenai PPh Pasal 23 selama tidak melibatkan sewa atau penggunaan harta.

Dalam proses banding, wajib pajak juga dapat membuktikan pihaknya telah memberikan dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti journal voucher, payment slip, invoice, kwitansi, rekap atas biaya trucking exim, handling charge, agency fee, THC, dan FCR.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.47652/M.II/12/2013 tanggal 3 Oktober 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 Januari 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 23 senilai Rp34.505.870.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK memiliki usaha yang bergerak pada bidang jasa penjahitan (jasa maklon). Dalam menjalankan usahanya, Termohon PK menggunakan jasa freight forwarding dari PT X.

Adapun terhadap penggunaan jasa tersebut, terdapat biaya trucking exim, handling charge, agency, THC, dan FCR yang dibayarkan oleh Termohon PK. Menurut Pemohon PK, atas biaya penggunaan jasa freight forwarding belum dilakukan pemotongan PPh Pasal 23. Padahal, berdasarkan pada Pasal 23 ayat (1) huruf c UU 7/1983 juncto UU 17/2000, jasa freight forwarding merupakan objek PPh Pasal 23.

Sebagai tambahan, Pemohon PK menggunakan Surat Dirjen Pajak No. S-59/PJ.43/2006 sebagai dasar hukum untuk memperkuat argumennya. Sesuai dengan penegasan pada beleid tersebut, jasa freight forwarding termasuk dalam pengertian jasa perantara yang terutang PPh Pasal 23. Berdasarkan pada uraian di atas, koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK. Terdapat beberapa alasan yang diberikan. Pertama, UU 7/1983 juncto UU 17/2000 dan PER-70/2007 tidak mengatur bahwa jasa freight forwarding merupakan objek PPh Pasal 23.

Kedua, Surat Dirjen Pajak No. S-09/PJ.032/2008 yang merupakan penegasan ketentuan Peraturan Dirjen Pajak No. 70/2007 telah mengatur atas jasa freight forwarding tidak diklasifikasikan sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong PPh Pasal 23.

Ketiga, Surat Dirjen Pajak No. S-59/PJ.43/2006 yang digunakan sebagai dasar argumen Pemohon PK sudah dicabut dan tidak berlaku lagi. Artinya, aturan tersebut sudah tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum.

Selain itu, Temohon PK juga telah menyampaikan bukti-bukti untuk mendukung argumentasinya, yaitu journal voucher, payment slip, invoice, kwitansi, rekap atas biaya trucking exim, handling charge, agency fee, THC, dan FCR. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak berdasar sehingga harus dibatalkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, tidak dapat dibenarkannya alasan-alasan permohonan PK dalam perkara a quo mengenai koreksi DPP PPh Pasal 23 senilai Rp34.505.870. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara ini, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Menurut Mahkamah Agung, pendapat dan kesimpulan Pemohon PK harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berlandaskan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak memiliki landasan yang jelas. Dengan demikian, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dianggap sebagai pihak yang kalah dan harus membayar biaya perkara. (Maria Magdalena)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.