PPh PASAL 4 AYAT 2 (9)

Pajak atas Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Redaksi DDTCNews
Kamis, 13 Juli 2017 | 16.15 WIB
Pajak atas Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

WAJIB pajak baik badan maupun orang pribadi yang memiliki penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) dalam satu tahun pajak tidak melebihi Rp4,8 miliar akan dikenakan pajak dengan tarif sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak (DPP) yang bersifat final.

Dasar pengenaan pajak tersebut adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha (cabang).

Lebih lanjut, kebijakan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2013 (selanjutnya disebut PP 46/2013) tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Subjek Pajak

PP 46/2013 juga berkaitan erat dengan wajib pajak Usaha Kecil Menengah (UKM), dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  2. Menerima penghasilan dari usaha, tetapi tidak termasuk penghasilan dari jasa yang berhubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4,8 miliar ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:

  1. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
  3. Usaha yang atas penghasilannya telah dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Pengecualian lainnya yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah sebagai berikut:

  1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan usaha menggunakan sarana/prasarana yang dapat dibongkar pasang,
  2. Wajib pajak tersebut berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT),
  3. Wajib pajak orang pribadi yang menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan,
  4. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial
  5. Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4,8 miliar,
  6. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan bebas yaitu meliputi:
    • tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
    • pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
    • olahragawan;
    • penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
    • pengarang, peneliti, dan penerjemah;
    • agen iklan;
    • pengawas atau pengelola proyek;
    • perantara;
    • petugas penjaja barang dagangan;
    • agen asuransi; dan
    • distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan

Tata cara perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima dari wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 107/PMK.11/2013.

Setiap bulannya wajib pajak harus menyetor pajak yang terutang paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya ke kantor pos atau bank persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420.

Wajib pajak harus melakukan pelaporan pajak terutang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sepanjang telah mendapatkan validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) pada saat penyerotan SPP, wajib pajak dianggap telah melaporkan SPT masa nya.

Hak Mendapatkan Pembebasan Pemotongan Pajak yang Bersifat Tidak Final 

Apabila transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak kriteria ini dilakukan dengan wajib pajak lain yang melakukan pemotongan atau pemungutan PPh tidak final, maka qajib pajak dapat dibebaskan permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan PPh tidak final oleh pihak lain tersebut.

Pembebasan tersebut dilakukan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) yang diberikan oleh Kepala KPP atas nama Dirjen Pajak melalui permohonan yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri.

Tata Cara Penyetoran Melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

Wajib pajak dapat melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat 2 ini melalui ATM pada bank persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Ini tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-37/PJ/2013.

Penyetoran pajak penghasilan melalui ATM dilakukan dengan memasukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Masa Pajak dan jumlah nominal pajak yang akan dibayarkan. Atas penyetoran tersebut, wajib pajak akan menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) dalam bentuk cetakan struk ATM.

Apabila terdapat kendala pada mesin ATM, sehingga BPN tidak dapat tercetak atau tercetak namun tidak dapat dibaca, maka wajib pajak dapat meminta cetak ulang BPN di kantor cabang milik Bank Persepsi terdekat.

Apabila terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam BPN dengan daya pembayaran menurut modul penerimaan negara (MPN) maka yang dianggap sah adalah data pembayaran menurut MPN.

Dalam BPN setidaknya tercantum elemen-elemen berikut ini:

  1. Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN);
  2. Nomor Transaksi Bank (NTB);
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  4. Nama Wajib Pajak;
  5. Kode Akun Pajak;
  6. Kode Jenis Setoran;
  7. Masa Pajak;
  8. Tahun Pajak;
  9. Tanggal Transaksi; dan
  10. Jumlah Nominal Pembayaran.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.