LEBIH dari 60% nilai perdagangan dunia dihasilkan dari transaksi yang berhubungan dengan perusahaan multinasional dengan menggunakan skema transfer pricing. Skema yang biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional dalam praktik transfer pricing adalah dengan cara mengalihkan laba mereka dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah.
Lalu apa itu transfer pricing? Dalam buku transfer pricing (Darussalam, Danny Septriadi dan Bawono Kristiaji, 2013) dijelaskan bahwa secara konsep transfer pricing dapat diaplikasikan untuk tiga tujuan yang berbeda. Pertama, dari sisi hukum perseroan, transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan sinergi antara perusahaan dengan pemegang sahamnya (Wolfgang Schon, 2014).
Kedua, dari sisi akuntansi manajerial, transfer pricing dapat digunakan untuk memaksimumkan laba suatu perusahaan melalui penentuan harga barang atau jasa oleh suatu unit organisasi dari suatu perusahaan kepada unit organisasi lainnya dalam perusahaan yang sama.
Ketiga, yaitu dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Arnold dan McIntyre menjelaskan harga transfer adalah harga yang ditetapkan oleh wajib pajak pada saat menjual, membeli, atau membagi sumber daya dengan afiliasinya.
Kendati demikian, transfer pricing seringkali dikonotasikan sebagai suatu yang tidak baik dan bermakna ‘pejorative’ yakni pengalihan atas penghasilan kena pajak dari suatu perusahaan dalam suatu grup perusahaan multinasional ke perusahaan lain dalam grup perusahaan yang sama di negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.
Makna ‘pejorative’ tersebut mengacu pada apa yang disebut sebagai manipulasi transfer pricing, abuse of transfer pricing, transfer mispricing dan sebagainya. Manipulasi transfer pricing dapat didefinisikan sebagai kegiatan menetapkan harga transfer menjadi terlalu besar atau terlalu kecil dengan maksud untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
Di Indonesia sendiri aturan mengenai transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal tersebut menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing juga dituangkan dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan tersebut disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.
Tidak hanya itu, baru-baru ini Ditjen Pajak juga telah mengeluarkan aturan lebih lanjut terkait dengan transfer pricing yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya.
Oleh karena itu, penting untuk dipahami bahwa kebijakan transfer pricing seharusnya tidak serta merta dikonotasikan menjadi arti yang kurang baik saja, tetapi harus dilihat dari konteks yang lebih komprehensif.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.